Harian Sederhana, Depok- Pendapatan daerah Kota Depok dari pajak air tanah lagi-lagi tak mencapai target Rp 1,8 miliar. Padahal, target pendapatan tahunan sebesar itu telah ditetapkan sejak beberapa tahun terakhir.
“PAD dari pajak air tanah tak tercapai padahal kami cuma target Rp 1,8 miliar, tapi tak tercapai. Yang kita dapat hanya sekira Rp 1,5 miliar,” kata Kepala BKD Kota Depok, Nina Suzana saat ditemui di ruang kerjanya pada Rabu (15/5/2019) kemarin.
Pada 2015, pendapatan dari pajak air tanah juga masih rendah yakni Rp 1,4 miliar. Waktu itupun target pendapatan dari pajak air tanah juga Rp 1,8 miliar.
Pendapatan asli daerah Kota Depok pada tahun lalu ditargetkan mencapai Rp 1,06 triliun. Penopang utama pendapatan Kota Depok berasal dari pengelolaan keuangan dan aset daerah.
Pos pajak yang menjadi pemasukan terbesar antara lain: pajak penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan, pajak bumi dan bangunan, pajak restoran dan pajak reklame. Adapun pendapatan non-pajak berasal dari retribusi IMB sebesar Rp 25 miliar dan retribusi sampah sekitar Rp 3 miliar.
Minimnya pendapatan pajak dari air tanah membuat Badan Keuangan Daerah Kota Depok mengusulkan kenaikan pajak dengan kisaran Rp 3.900 hingga Rp 4.000/meter kubik, khususnya untuk tempat komersil. Keinginan menaikkan pajak air tanah itu pernah diutarakan Wali Kota Muhammad Idris pada Januari lalu. Alasannya pajak air tanah masih Rp500 per meter kubik.
“Pajak air tanah memang sedang kita revisi sebab tarif yang berlaku sampai sekarang masih aturan pajak tahun jebot, cuma Rp 500/meter kubik. Ini tarif lama, dari Depok baru berdiri,” kata Kepala BKD Kota Depok, Nina Suzana saat ditemui di ruang kerjanya pada Rabu (15/5/2019).
Pengambilan ataupun pemanfaatan air tanah berdasarkan peraturan yang dibuat pemerintah memang menjadi satu dari objek pajak. Namun ketentuan ini tak berlaku pada penggunaan dan pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian, perikanan rakyat serta peribadatan. Sesuai ketentuan tarif pajak air tanah ditetapkan sebesar 20 persen dari harga dasar air yang ditetapkan oleh Badan Lingkungan Hidup.
Nina menjelaskan, kenaikan tarif yang diusulkan itu perlu untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, sekaligus mengurangi risiko penggunaan air tanah secara berlebih. Besaran pajak baru ini dituangkan dalam peraturan wali kota yang ditargetkan berlaku Juli tahun ini.
“Sekarang Perwal dalam tahap kajian. Secepatnya akan berlaku, kita sih inginnya Juli ini berlaku,” tuturnya.
Nina mengakui pengawasan penggunaan air tanah di tempat-tempat komersil masih sangat lemah. Salah satunya karena bentuk pengawasan kewenangan provinsi, bukan pemerintah kota. Beberapa modus pelaku, ialah menutupi jumlah lubang sumur yang digunakan. Satu-satunya solusi adalah dengan menaikan tarif pajak air tanah.
“Mereka ini banyak modusnya, salah satunya misalnya, punya lubang sumur tiga terus ngaku ke kita cuma satu. Nah ini yang butuh pengawasan ekstra, tapi kewenangannya ada di provinsi ini yang rumit,” ujar dia.
Nina mengatakan, pihaknya tak ingin terlalu tinggi menaikan tarif dengan dasar untuk menyeimbangkan iklim investor. “Kita enggak mungkin naikin langsung dengan tarif yang tinggi, itu tidak sehat bagi iklim investor, jadi harus dipertimbangkan. Kita mendorong pelan-pelan pelaku usaha menggunakan PDAM. Di sisi lain apakah PDAM sudah mampu menyedikan ketersedian air di tempat-tempat komersil seperti apartemen dan hotel dan menjamin tidak akan ada gangguan,” katanya.
20 Tempat Komersil
Manager Pemasaran PDAM Tirta Asasta Kota Depok, Imas Dyah Pitaloka mengatakan sebanyak 20 tempat komersil yang masih menggunakan air tanah yakni di Margonda, Jalan Raya Bogor, Cimanggis dan Cinere.