Harian Sederhana – Buku adalah jendela dunia. Slogan ini sudah jarang kita dengar di era digitalisasi sekarang. Kini, semua informasi bisa diakses hanya dengan sekali klik.
Peran buku sudah tak lagi efektif menjadi referensi pengetahuan jika kita punya kuota untuk mengakses internet dan tentunya gadget digenggaman kita.
Koran pun sama, sebagai media massa cetak yang menjadi sumber informasi yang paling ditunggu-tunggu setiap pagi oleh masyarakat berbagai kalangan, di warung kopi maupun di kantor. Pada kenyataannya, kalah saing dengan media online baik media massa online maupun media sosial.
Alhasil, banyak perusahaan media cetak gulung tikar, hanya beberapa saja yang bertahan selebihnya berubah format menjadi media massa online. Sudah jadi kesepakatan umum bahwa media sosial sudah menjadi kebutuhan tatkala ada suatu hal yang ingin kita tahu dengan cepat tanpa harus datang ke perpustakan untuk mencari satu buku di tumpukan buku-buku yang berat dan terlihat membosankan.
Mirisnya, bukan hanya informasi yang benar dan sesuai fakta saja yang beredar bebas tak terbatas, informasi bohong atau sekarang sering disebut hoax inipun merajalela. Padahal dampak dari berita hoax ini bisa sangat berbahaya bagi perpecahan antar suku, ras, agama atau kelompok-kelompok lain.
Regulasi tentang media sosialpun belum cukup membendung para pelaku penyebar hoax agar mereka para oknum berhenti membodohi masyarakat yang tidak dibekali pengetahuan tentang validitas suatu informasi.
Di sinilah peran buku masih sangat penting untuk sebuah literasi suatu pengetahuan. Sayangnya, minat membaca buku menurut salah satu studi penelitian mengungkapkan di Indonesia, hanya 0,01 % saja yang masih rutin dan suka membaca buku.
Tempo hari, saya pergi ke Jakarta untuk datang ke acara buka Puasa bersama teman-teman semasa kuliah. Tempatnya di salah satu kedai kopi yang berada di jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Bernama Coffee 131, karena kedai ini bernomor 131 di alamatnya. Uniknya, kedai ini memiliki konsep yaitu dengan menyediakan rak beserta banyak buku untuk dibaca para pengunjung. Bukan hanya itu, bagi para costumer atau pengunjung yang memesan makanan atau minuman lebih dari harga 10 ribu, maka boleh membawa salah satu buku tersebut secara gratis.
Salah satu owner, Alfin menceritakan bagaimana kedai ini mengambil konsep yang secara tidak langsung memancing minta membaca para pengunjung yang kebanyakan berasal dari kaum-kaum mahasiswa.
Menurutnya, dengan menyediakan buku bahkan membolehkan pengunjung membawa pulang salah satu buku setelah datang ke Coffee 131 ini, para pengunjung akan berfikir untuk kembali lagi untuk melanjutkan membaca buku yang kebanyakan buku memiliki keterkaitan dengan buku lain.
Harga menu makanan dan minumannya pun cukup terjangkau, hanya dengan 5 ribu rupiah, pengunjung bisa menikmati kopi Tubruk atau Vietnam Drip. Ada juga jenis kopi yang lain yang harganya pun tidak jauh berbeda.
Setelah mendengarkan Alfin bercerita, ternyata, pemilik kedai kopi 131 ini ialah Profesor Doktor Hermawan Sulistyo, seorang ahli di bidang riset, juga mantan aktivis. Beliau juga pernah menjadi Ketua Tim Investigasi TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kerusuhan Mei 1998. Sayang beliau sedang tidak ada di kedai karena kesibukannya.
Buku-buku yang disediakan Coffee 131 juga diambil dari gudang penerbit buku milik Prof Hermawan yang bernama Pensil 324. Salah satu penerbit buku besar di Jakarta. Sebagian buku pun ada yang ditulis oleh prof Hermawan sendiri.
Menurut Alfin, Coffee 131 yang sudah berjalan 9 bulan ini tidak akan kehabisan buku-buku untuk para pengunjung karena prof Hermawan memiliki banyak gudang buku hasil dari penerbitan buku miliknya. Alfin berharap, dengan konsep ini, para pengunjung akan senang untuk kembali lagi dan juga memancing minta membaca masyarakat karena kembali ke slogan awal (buku adalah jendela dunia).