Harian Sederhana, Depok – Angka perceraian di Kota Depok sampai dengan periode Juli 2019 telah mencapai 2.532 kasus. Jumlah ini diprediksi bakal terus bertambah dibanding tahun sebelumnya, yang mencapai 3.525 kasus. Salah satu faktor pemicu tingginya angka tersebut yakni tidak bijak menggunakan media sosial atau medsos.
“Kalau dirata-ratakan perkara yang masuk dan kami terima setiap harinya 15 sampe 20 perkara,” kata Humas Pengadilan Agama Depok, Dindin Syarief saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (19/7/2019).
Pria yang akrab disapa Dindin itu menyebutkan, banyak alasan perceraian terjadi. Jika merujuk perundang-undangan yang ada di Indonesia, diantaranya yaitu Pasal 19 Huruf F PP 1975. Dalam pasal itu dijelaskan ada enam alasan yang bisa dijadikan alasan untuk bercerai.
“Namun yang paling banyak adalah perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus. Dari sekian alasan tadi, paling banyak dipicu penggunaan media sosial yang tinggi dan tidak bijaksana. Termasuk adanya pihak ketiga dalam urusan rumah tangga,” jelasnya.
Meski mengakui banyak kasus terjadi akibat kurang bijaknya penggunaan media sosial atau medsos, namun Dindin tidak merinci berapa jumlah pastinya. Terkait hal itu, kata Dindin, pihaknya tidak begitu saja mengabulkan permohonan perceraian.
“Pengadilan sudah berupaya secara maksimal untuk upaya damai. Maka digariskan oleh UU Pasal 82 ayat 1 pada sidang pertama itu hakim wajib mendamaikan. Apalagi sekarang peraturan mediasi, bahwa setiap perkara perdata dalam hal ini perceraian yang diajukan suami istri wajib dilakukan mediasi,” paparnya.
Maka itu, lanjut Dindin, upaya Pengadilan Agama untuk meminimalisir tingkat perceraian akan terus dilakukan secara maksimal dan bahkan mediasi bisa dilakukan di luar persidangan.
“Jadi biasanya kalau ada perkara masuk ditindaklanjuti dengan mediasi pada sidang pertama, kemudian kita tunggu sidang kedua. Nah yang kedua kita damaikan lagi. Kalau tidak bisa didamaikan baru diperiksa perkaranya. Sidang ketiga untuk jawaban, didamaikan lagi,” ujarnya.
“Itu menunjukkan bahwa upaya damai itu begitu diperhatikan oleh undang-undang. Majelis hakim mendamaikan, itu menjadi kewajiban utama. Keberhasilan hakim bukan berarti menjatuhkan putusan atau harus cerai, tapi bisa mendamaikan kedua pihak,” timpalnya lagi.
Dindin mengatakan, pada tahun 2018, dari 3.525 kasus yang masuk, ada 365 perkara yang dimediasi dan berhasil rujuk hanya 35 kasus atau hanya sekira satu persen.
“Ada perkataan pihak pengadilan tidak berhasil menekan angka perceraian itu, kami bantah itu. Kami sudah maksimal tapi memang kembali kepada para pihak. Kalau memang sudah diajukan ke pengadilan itu berarti sudah kronis kondisi rumah tangganya,” jelas dia.
Dindin menegaskan, pihak yang berperkara wajib menyertakan bukti berikut saksi. “Tapi kalau penyebabnya medsos hanya para pihak yang mengajukan perkara yang bisa memberikan bukti. Biasanya print out sering dilakukan oleh kuasa hukum. Sekali lagi saya tegaskan penggunaan medsos yang tidak bijaksana menjadi pemicu perselisihan dan pertengkaran,” tandasnya.
(*)