Harian Sederhana, Depok – Pemerintah Kota (Pemkot) Depok berharap pemerintah pusat meninjau kembali wacana yang memperbolehkan Aparatur Sipil Negara atau ASN bekerja di rumah. Salah satu alasan menolak gagasan itu adalah keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan resiko tugas.
Wakil Wali Kota Depok, Pradi Supriatna menuturkan wacana tersebut harus dikaji terlebih dahulu penerapannya seperti apa. Selain itu, untuk sarana prasana (sarpras) penunjang pekerjaan sendiri mayoritas berada di kantor dinas.
“Itu kan baru wacana, harus dikaji dulu lah efektivitasnya seperti apa. Kalau bidang tertentu kan menyangkut sarpras penunjang. Kalau sarprasnya ada di dinas terkait kan otomatis enggak bisa. Apalagi itu kan menyangkut aset negara, apa bisa dibawa pulang, ini kan persoalan,” tuturnya, Senin (12/08).
Terkait hal itu, Pradi pun menilai akan sangat prematur jika diberlakukan tanpa adanya kajian secara total. Menurutnya, wacana itu bisa saja diberlakukan hanya pada beberapa bidang tertentu.
“Kaya kehumasan yang memang harus bangun komunikasi atau di dinas sosial yang memang bisa diskusi hasil rapat di rumah atau dimana,” bebernya.
Namun jika itu diterapkan di Kota Depok, lanjut Pradi, akan sangat tidak efektif. Untuk itu dirinya meminta agar wacana tersebut dikaji lebih dalam lagi agar tidak menjadi permasalahan dikemudian hari.
“Intinya harus dikaji dulu kalau ASN di rumah menyangkut komitmen juga dan tugas-tugasnya. Namanya korupsi kan bukan hanya materi, bisa juga jadi korupsi waktu. Kebetulan saya di internal ini tugasnya memang dalam rangka pengawasan melekat pada birokrat dan melakukan evaluasi-evaluasi,” bebernya.
Dalam beberapa persoalan kedisiplinan saja, kata Pradi, masih kerap ditemukan ASN di lingkungan Pemkot Depok yang melakukan pelanggaran di saat jam kerja.
“Ini saja pernah kami temukan absen pagi kemudian dia kabur, nunggu sore dia balik lagi buat absen. Ini dikasih teguran, nah nanti dimana fungsi pengawasannya ketika mereka di rumah,” jelasnya.
Hal yang juga masih menjadi persoalan, lanjut Pradi, jumlah ASN di Kota Depok sangat terbatas.
“Sangat kurang lah, mohon maaf kalau saya salah bisa dicek, Bekasi yang populasi penduduknya sedikit banyak dari kita ada sekira 12 ribuan ASN, sementara kita hanya 7 ribu kurang. Bogor kota lebih kurang 9 ribuan dengan jumlah penduduk dibawah 2 juta jiwa,” katanya.
Dengan demikian, jumlah ASN di Kota Depok, menurut Pradi masih jauh dari kata ideal. “Depok masih sangat belum ideal ya. Setiap tahun pun ada pengurangan. Ada sekiranya 150an asn yang purna atau pensiun setiap tahun. Ya idealnya paling enggak 10 ribuan ASN lah,” imbuhnya.
Senada dengan Wakil Wali Kota Depok, Hardiono selaku Sekretaris Daerah (Sekda) mengaku dirinya belum mengetahui secara detail wacana yang digagas oleh MenpanRB tersebut. Namun jika wacana itu diberlakukan menurutnya akan sangat tidak efektif.
“Jujur saya baru dengar (wacana itu). Memang pegawai kita saja kurang, masa mau kerja di rumah, gimana sih. Kalau kerja di rumah riskanlah, dokumen entar pada ilang. Enggak efektif,” katanya.
Hardiono menegaskan, jika kebijakan itu diberlakukan pada tahap provinsi, maka hal tersebut tidak berlaku secara otomatis di Kota Depok.
“Ya enggak serta merta kita harus ikutin kan. Lebih efektif kalau ke kantor ya,” katanya.
Seperti diketahui, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) menimbulkan wacana supaya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat bekerja di luar kantor.
Deputi SDM Aparatur Kementerian PAN-RB, Setiawan Wangsaatmaja mengatakan hal tersebut didasari upaya pemerintah untuk membentuk PNS yang mampu bekerja mengikuti perkembangan zaman yang serba fleksibel. Perkembangan zaman itu terutama terlihat dari pesatnya perkembangan teknologi dan informasi di era digital.
“Di masa mendatang, beberapa pekerjaan bisa dikerjakan melalui smartphone, yang tentu akan lebih efisien dan memperpendek alur birokrasi,” katanya dalam rilis yang diterima Kompas pada Jumat, 9 Agustus 2019.
Setiawan mengatakan, PNS yang dikategorikan Smart ASN tidak boleh gagap teknologi demi menggiring sistem pemerintahan Indonesia menuju birokrasi 4.0 yang beriringan dengan revolusi industri 4.0. Semua jenis layanan publik yang diselenggarakan pemerintah akan berbasis digital dan terintegrasi.
“Tentunya digitalisasi sistem pemerintahan ini juga diimbangi dengan keamanan siber yang mumpuni,” kata Setiawan.
Era disrupsi, kata Setiawan, mempermudah pekerjaan karena sudah ditopang teknologi canggih. Hal ini membuat pegawai bisa bekerja lebih fleksibel sehingga tidak harus lagi mengerjakan tugasnya di kantor.
Meski begitu, Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian PANRB, Mudzakir mengatakan ide tersebut masih digodok di internal. Konsepnya perlu dielaborasi lebih jauh dengan menampung masukan dari berbagai pihak.
Saat ditanya apakah sistem tersebut malah membuat PNS jadi malas bekerja, Mudzakir belum dapat menanggapinya. “Semuanya masih dalam kajian awal,” kata dia.
Pemerintah sudah merencanakan ASN atau PNS banyak diisi oleh pegawai-pegawai yang melek teknologi pada 2024. Saat itu, diperkirakan separuh PNS di Indonesia merupakan generasi yang sangat melek teknologi. Layanan masyarakat pun nantinya bisa terbantu dengan kehadiran teknologi.
Misalnya, tanda tangan dokumen untuk keperluan birokrasi tidak perlu seorang pejabat menandatangai satu per satu dokumen. Tanda tangan itu bisa dilakukan dengan tanda tangan digital sehingga prosesnya bisa lebih cepat.
Untuk menyambut PNS 4.0 itu, pemerintah sudah memulainya dengan proses rekruitmen PNS yang menggunakan sistem komputer atau internet. Dari hasil seleksi beberapa tahun itu, pemerintah sudah memiliki 572.000 pegawai yang melek teknologi. Adapun jumlah total ASN saat ini mencapai dari 4,3 juta orang. (*)