Harian Sederhana, Depok – Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Depok mencatat jumlah warga negara asing atau WNA yang bekerja di sejumlah perusahaan di Kota Depok mencapai sekira 300 orang. Rata-rata mereka berasa dari Korea dan Jepang.
“Kita lagi mendata, kurang lebih ada 300-an WNA. Kebanyakan kerja manufaktur, garmen hampir enggak ada. Korea dengan Jepang karena kebanyakan perusahaan itu,” kata Kepala Disnaker Kota Depok, Manto, Rabu (14/08).
Terkait hal itu, Manto mengaku pihaknya rutin melakukan pengawasan bersama dengan Imigrasi. “Soal ini (tenaga kerja asing-red), kami selalu berkoordinasi dengan Imigrasi Depok,” katanya.
Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Seluruh Indonesia (FSPMI) Kota Depok, Wido Pratikno mengingatkan pada pemerintah untuk tidak membuka peluang secara lebar terhadap tenaga kerja asing lantaran akan berdampak pada banyak hal, khususnya kaum buruh di Indonesia.
Karena itulah, Wido pun menolak adanya revisi terkait UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mengatur tentang warga asing.
“Menurut undang-undang, WNA memang diperbolehkan bekerja di Indonesia asalkan menjadi staf ahli. Itupun dengan sejumlah syarat seperti mendapat pendampingan dari pekerja Indonesia serta diwajibkan untuk belajar bahasa Indonesia,” katanya.
Namun Wido menilai, dalam revisi tersebut, peluang WNA bekerja di Indonesia dibuka lebar tanpa persyaratan tersebut. Bidangnya pun tidak hanya staf ahli namun bisa merambah ke Human Resource Department atau HRD. “Kalau HRD sampai dipegang asing kan enggak boleh, budayanya kan beda. Maka kita akan lawan itu,” katanya.
Wido mengaku, sebelum revisi tersebut digodok, dirinya sudah menemukan adanya pelanggaran yang dilakukan pekerja asing yang melakukan tugas tidak sesuai dengan jabatannya.
“Beberapa kali ada temuan, sekitar tiga sampai empat orang yang jabatannya sebagai staf ahli tapi bekerjanya tidak sebagai staf ahli. Kita laporkan itu dan mereka sempat ditahan di Imigrasi Depok,” imbuhnya.
Dirinya pun berjanji akan terus melakukan penolakan terhadap revisi UU No. 13 tahun 2003 tersebut termasuk melakukan audiensi dengan Pemkot dan DPRD Depok. Ia meminta agar para pemegang keputusan dapat memberikan perlindungan terhadap nasib buruh.
“Di tempat lain seperti Karawang dan Bandung sudah merekomendasikan penolakan. Saya minta di Depok juga ada rekomendasi penolakan itu. Revisi itu jelas akan merugikan nasib buruh karena lapangan kerja lebih susah padahal jumlah pengangguran saja sudah banyak,” tegasnya. (*)