Harian Sederhana, Depok – Wacana pembentukan Provinsi Bogor Raya yang dicetuskan oleh Wali Kota Bogor, Bima Arya terus bergulir. Kota Depok sendiri yang berada diantara DKI Jakarta dan wilayah Bogor pun ikut bersuara perihal wacana tersebut.
Kali ini giliran Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Depok, Hardiono yang angkat bicara. Dirinya lebih bersepakat Kota Depok bergabung menjadi bagian dari DKI Jakarta dibandingkan masuk dalam Provinsi Bogor Raya.
“Kalau Depok dilibatkan ke Provinsi Bogor Raya, saya justru cenderungnya kota ini jangan lagi masuk provinsi. Tapi masuk daerah khusus sebagai bagian dari Ibukota, itu menurut saya kalau secara pribadi,” tuturnya kepada wartawan, Rabu (21/08).
Perihal usulan atau konsep Provinsi Bogor Raya, menurutnya perlu dilihat dari sisi tata ruangnya terlebih dahulu. RTRW dari provinsi itu seperti apa, apakah sudah masuk didalam tata ruang provinsi.
“Nah, kalau misalnya belum ada harus masuk di tata ruang provinsi. Sudah barang tentu harus ada penyesuaian atau revisi kalau memang tidak sesuai,” katanya.
Kemudian, sambung Hardiono, harus dilihat juga kajiannya sudah atau belum. Dalam hal ini tidak bisa begitu saja, kemudian apa namanya dibuat dibuat atau diimplementasikan tentang provinsi karena tidak mudah.
“Salah satu contohnya adalah pembagian Kabupaten Bogor antara Bogor Timur dan Bogor Barat sampai saat ini saja belum selesai, urusannya panjang dengan DPRD, Kemendagri, dan sebagainya. Itu butuh pembahasan yang cukup panjang,” bebernya.
Dalam kesempatan itu juga, Hardiono mengusulkan agar Provinsi DKI Jakarta diperluas sampai ke Kota Depok hingga Bogor, agar DKI tidak lagi berdiri sendiri. “Sebagai sebuah opsi atau alternatif bahwa Ibukota diperluas mulai dari Depok sampai Bogor Raya,” katanya.
Usulan ini pun menurutnya sangat mungkin. Hal ini dikarenakan Provinsi DKI Jakarta sudah kekurangan lahan.
“Ketimbang harus bangun reklamasi karena kekurangan lahan, lebih baik cari lahan baru yang memang betul-betul ada di darat, kemudian dilakukan kajian, RTRW-nya, selanjutnya bisa dibahas di nasional, provinsi, hingga kabupaten,” bebernya.
Pada kesempatan itu juga, Hardiono turut angkat bicara perihal Ibukota di Kalimantan. Ia berpendapat hal itu sangat bagus, tapi ia berpendapat daripada memindahkan Ibukota lebih baik memperluas Provinsi DKI Jakarta.
“Kalau yang tadi kan dibahas di acara pada tanggal 16 itu Ibukota diusulkan di Kalimantan. Jadi kalau saya justru cenderung Ibukota diperluas. Jadi tidak lagi Provinsi Bogor Raya tapi ikut masuk Ibukota,” katanya.
Hardiono mengaku bahwa dirinya pernah melihat perencaan Bappenas. Untuk itu, dia menanyakan apakah pemindahan Ibukota ke Kalimantan sudah ada hitungan RAB.
“Karena saya pernah lihat di perencanaan Bappenas. Saya pikir kita melihat hitung-hitungan, apakah itu ada hitungan RAB kalau kita dipindahkan ke Kalimantan. Justru saya pikir RAB lebih tinggi kalau kita memindahkan,” pungkasnya.
“Kemudian kita lihat cadangan devisa kita banyak atau tidak, kalau sedikit otomatis ngutang, kalau ngutang siapa yang dibebanin. Jangan sampai beban ini ke anak cucu kita,” tandasnya.
Sebelumnya Wali Kota Depok, Mohammad Idris mengaku dirinya lebih memilih untuk bergabung dengan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta terkait wacana pembentukan Provinsi Bogor Raya. Meskipun begitu, dirinya berharap rencana tersebut melalui tahap kajian dan pembahasan yang matang.
“Kalau saya milih dari sisi mana, kalau bahasa saya memilih Bahasa Jakarta, karena saya enggak bisa Bahasa Sunda. Aktivitas warga Depok pun banyak di Jakarta,” tuturnya kepada wartawan, Selasa (20/08).
Wali Kota mengatakan bila dilihat dari sisi budaya maka hal itu tidak bisa dibatasi dari kebudayaan geografi. Kebudayaan menurutnya bisa dari kesamaan bahasa, adat, dan itu bisa dimasukkan dalam satu rumpun. Akan tetapi, lanjutnya, bila dilihat dari sejarah antara budaya Depok dan Jakarta terdapat banyak kesamaan.
“Makanya Depok ini dalam SK gubernur disebut sebagai rumpun Melayu Depok. Tidak disebut Betawi karena Betawi sudah trademark dari Jakarta,” imbuhnya.
“Kalau dari konteks itu, kalau dari sisi bahasa tidak serupa tidak sama itu dengan Jakarta dan sekitarnya termasuk Tangsel dan Bekasi. Depok juga berbahasa Sunda, tapi mayoritas kedekatannya memang bisa satu rumpun, ini budaya,” timpalnya lagi.
Kemudian, sebagai salah satu kota satelit Ibukota, Depok juga sering bekerja sama dengan Provinsi DKI Jakarta. Salah satunya pembentukan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) se-Jabodetabek untuk mengatasi kepentingan wilayah otonomi.
“Ini untuk siasati kebutuhan wilayah tetangga yang memang sangat dibutuhkan, yang paling terkait ada 4, (yaitu) sanitasi, air bersih, udara, dan sampah. Ini yang kita seriuskan untuk kita selesaikan, jadi tidak hanya ketika DKI begini, terus egois mengatakan itu urusan DKI, tidak boleh karena itu tetangga kita,” jelasnya.
Dan jika ditinjau dari segi mobilitas, sebagian besar penduduk Kota Depok sendiri bekerja di Jakarta. Bahkan, menurut Idris, separuh lebih jumlah warga Depok beraktivitas hilir-mudik ke Jakarta.
“Iya 65 persen warga Depok komuter, 90 persen itu ke Jakarta, selebihnya ke Bogor, Bekasi. Tapi 90 persen ke Jakarta, ketika Jakarta Ibukota, nanti kalau pindah ya beda lagi,” katanya.
Idris pun berharap, wacana pembentukan Provinsi Bogor Raya ini perlu intervensi pemerintah pusat. Sebab, persoalan pindah provinsi bukan perkara mudah.
“Kalau wacana kebutuhan memang ke sana, tapi kalau sisi kewilayahan asal-muasal ya Jawa Barat, nggak bisa dipisahkan dari Jawa Barat. Apalagi kota bergabung dengan provinsi lain, ini harus intervensi pemerintah kota serius membicarakan ini,” katanya.
“Seperti wacana pindahnya Ibukota enggak semudah itu. Contohnya Bogor Barat enggak selesai-selesai, padahal sebuah kebutuhan. Ini hanya memisahkan, membagi kabupaten menjadi tiga dalam provinsi yang sama. Apalagi dalam kondisi yang berbeda,” tutupnya. (*)