Harian Sederhana, Karawang – Pada 1 Juni bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila. Sudah genap 75 tahun usia ideologi bangsa kita, sejak kali pertama Soekarno, M. Yamin, Dr. Soepomo dan lainnya, menggagas dalam sebuah pidato yang menyejarah. Ironisnya, umur yang panjang ternyata berbanding terbalik dengan kedekatan kita bersama Pancasila.
Pada 12 Mei lalu, sekitar 18 hari sebelum kita memperingati Hari Lahir Pancasila, pembahasan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) memasuki babak baru. RUU ini disahkan menjadi usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna. Selanjutnya, DPR dan pemerintah bakal mendalami materi muatan dalam draf RUU HIP ini.
Banyak yang tak mencermati isi RUU ini. Padahal, RUU ini tidak menjadikan Ketetapan (TAP) MPRS No.XXV Tahun 1966 sebagai landasan. Isi TAP ini teramat penting. Yakni tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NKRI Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atas Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) sejak awal menolak keras sejak rumusan RUU HIP yang tidak menjadikan TAP MPRS XXV/1966 sebagai landasan. TAP MPRS XXV/1966 hingga kini belum dicabut, sehingga keberadaan dan keberlakukannya masih diakui. Karena itu, Ketika RUU HIP akan dijadikan aturan, seharusnya mencantumkan Tap MPRS XXV/1966 sebagai acuan agar posisinya jelas terhadap idelogi komunisme.
Tidak dijadikannya TAP MPRS tersebut sebagai landasan dan sama sekali tidak dimasukkan dalam RUU HIP memunculkan keanehan. Kita terkesan sedang memberi ruang bagi komunisme. Juga seakan kita sedang mengalami amnesia sejarah. Padahal, komunisme telah terbukti ingin mengubah ideologi negara menjadi ideologi terlarang. TAP MPRS XXV/1966 merupakan esensi penting dan ruh dari ideologi negara Pancasila. Sekaligus ikhtiar kita menjaga orisinalitas Pancasila dari pengaruh haluan kiri dan kanan, seperti sosialis komunis dan dan kapitalis liberalis.
Dalam bahasa kekinian, menjadikan TAP MPRS XXV/1966 sebagai landasan RUU HIP jadi upaya kita untuk menjaga Pancasila tetap normal. Maksudnya, ketika Soekarno kali pertama memperkenalkan istilah Pancasila dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945 di Jakarta, nilai-nilai yang disampaikan bertentangan dengan komunisme. Terutama saat berbicara soal Ketuhanan, hal yang diharamkan oleh ideologi komunis.
Hari ini, ketika kita justru tidak menjadikan TAP MPRS XXV/1966 ke dalam RUU HIP, kita seperti sedang mengkhianati perjuangan Para Pendiri Bangsa. Kita seolah melupakan perjuangan Soekarno, Mohammad Yamin, Dr. Soepomo. Juga Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, KH. Agus Salim, Achmad Soebardjo, dan KH. Wahid Hasjim. Mereka inilah yang bertugas merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato Soekarno tersebut, dan menjadikan dokumen tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Normalnya, Pancasila itu bersikap hitam putih dengan komunisme. Seperti yang diinginkan The Founding Fathers kita. Namun, dengan tidak dijadikannya TAP MPRS sebagai landasan RUU HIP, kita seakan membawa Pancasila ke arah New Normal. Kondisi dimana Pancasila tidak bersikap tegas terhadap ideologi komunisme.
Kita berharap, ini tidak terjadi. Masih tersedia waktu bagi kita untuk mengubahnya. Dan Hari Lahir Pancasila ini harus jadi momentum bagi semua pihak, untuk menjaga dan merawat Pancasila. (*)