Harian Sederhana, Depok – Serapan dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat nyatanya belum digunakan secara maksimal oleh sebagian besar daerah. Salah satu faktor utama penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan aparatur setempat dalam menyusun rancangan anggaran.
Guru Besar Universitas Pancasila (UP) bidang ilmu akuntansi sektor publik dan akuntansi pemerintahan, Suratno mengungkapkan ada tiga poin yang menghambat program nawacita Presiden RI, Joko Widodo terkait hal itu. Diantaranya aparatur desa kurang memahami PP No.71/2020 tentang standar akuntansi pemerintahan.
Kemudian, aparatur desa kurang memahami PMK: 238/2011 tentang pedoman umum standar akuntasi pemerintahan dan kurang memahami Permendagri No 20/2018, tentang pengelolaan dana desa serta keterterbatasan sumber daya manusia (SDM) dalam memahami sistem akuntasi pemerintah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Suratno, dari sekira 74.957 desa di Indonesia, hanya ada tiga provinsi yang telah mendekati target dan nyaris mampu mengelola anggaran secara baik dengan serapan anggaran rata-rata mencapai Rp 800 juta per desa.
“Fenomena yang terjadi saat ini adanya realisasi alokasi anggaran dana desa yang kurang proporsional. Serapan anggaran yang cukup besar selama 2015-2018 hanya berada di tiga provinsi yaitu, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,” katanya pada wartawan di kampus UP, Jumat 19 Juli 2019.
Sedangkan desa yang sangat memerlukan dana dalam membangun infra dan supra struktur, justru memperoleh alokasi dana yang lebih kecil dibanding desa yang sudah memiliki sumberdaya lebih. Kondisi ini terjadi akibat lemahnya pengetahuan dalam penyusunan sebuah anggaran berbasis akuntasi pemerintahan.
“Yang masih sangat kecil menyerap anggaran terutama di luar pulau Jawa. Misalnya di Kalimantan Utara sangat rendah sekali, Papua lebih kecil lagi, Maluku Utara juga rendah, Ambon juga sama, Sulawesi Selatan saja masih banyak desa yang belum terjangkau, belum memahami,” ujarnya.
Padahal, menurut Suratno, anggaran yang diberikan pemerintah pusat untuk masing-maisng desa telah proporsional, dengan kisaran angka Rp 1 miliar per desa atau dengan total keseluruhan mencapai sekira Rp 400 triliun.
“Untuk itulah, saya rasa kami sebagai akademisi harus bisa memberikan pembekalan dalam bidang edukasi. Alokasi dana desa yang sudah ada harus direalisasikan secara proporsional, akuntabel dan kredibel,” tuturnya.
“Sebab pada kenyataannya yang kami ketahui dari kementerian keuangan, serapan anggaran tidak optimal karena pemerintah desa belum mampu menyusun rancangan anggaran,” ucap Suratno.
Sementara itu Rektor UP, Wahono Sumaryono menambahkan penggunaan dana desa saat ini masih sangat fluktuaktif. Itu artinya belum terencana dan terstruktur sistematis.
“Ini harus diback up dengn sistem akuntasi yang akuntabel. Sehingga kami (Universitas Pancasila) mengajak para akademisi yang bergerak dibidang akuntansi untuk menerapkan sistem akuntansi yang baik di pedesaan. Memberikan pembinaan berbasis edukasi,” katanya.
“Sebab, jika dibiarkan ini adalah satu faktor yang menyebabkan pembangunan desa agak lambat,” tandasnya.
(*)