Bekasi Selatan – Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi mengimbau kepada seluruh jajaran Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi agar tidak menyebarkan berita hoaks atau berita bohong.
Hal tersebut dilontarkan agar jajaran di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi bisa menghadirkan suasana yang kondusif serta tidak menimbulkan opini atau prasangka yang tidak-tidak.
“Saya ingatkan sekali lagi agar tidak menyebarkan informasi yang bisa mengarah kepada kebohongan atau sebagainya,” tuturnya, Selasa (20/8).
Sambung Wali Kota Bekasi, setiap informasi yang diberikan tanpa diketahui atau dicek kebenarannya bisa menimbulkan fitnah dan berita yang tidak benar adanya di masyarakat.
“Sebagai aparatur pelayan publik, maka sudah menjadi kewajibannya untuk memberikan mana berita yang bisa dikonsumsi oleh publik dan mana yang tidak bisa dikonsumsi oleh publik,” terangnya.
Selain itu, dirinya juga meminta agar jajaran di lingkungan Pemkot Bekasi untuk meningkatkan kinerja dan etos kerja. Hal ini dilakukan agar pelayanan prima yang selalu dikedepankan oleh aparatur Pemkot Bekasi bisa diwujudkan dengan kerja nyata.
“Tidak lupa saya minta agar seluruh aparatur pelayan publik untuk meningkatkan kinerjanya agar bisa memberikan pelayanan prima,” tukasnya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting, menjelaskan bahwa penyebar berita hoaks/ kabar bohong/ kabar yang tidak lengkap itu dapat dikenakan sanksi pidana sesuai pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Jerat hukum jika menggunakan pasal 14 dan 15 UU 1/1946 ini tidak tanggung-tanggung, kata Miko, ada yang bisa dikenakan sanksi 2 tahun, 3 tahun bahkan 10 tahun yang dikualifikasi dalam 3 bentuk pelanggaran.
“Tiga bentuk pelanggaran tersebut adalah menyiarkan berita bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, menyiarkan berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita itu bohong, dan menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak lengkap, sedangkan ia mengerti dan mampu menduga bahwa kabar itu akan menerbitkan keonaran,” paparnya.
Miko juga menyebut bahwa pasal 14 dan 15 UU 1/1946 itu lebih mudah dikenakan terhadap penyebar berita hoaks ketimbang menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE.
Menurut Miko, pasal penyebaran berita hoaks yang diatur dalam UU ITE sangatlah terbatas pada konteks yang menimbulkan kerugian konsumen dan ada juga yang sifatnya ujaran kebencan yang menimbulkan permusuhan sara’.
“Nah, kalau dalam UU ITE itu ada klausul lainnya, jadi tidak sekadar memberi kabar menyesatkan atau bohong, tapi harus ada ‘klausul’ lain seperti menimbulkan rasa kebencian berdasarkan sara’. Sedangkan jika menggunakan pasal 14 dan 15 UU 1/1946, maka tidak diperlukan klausul lain, karena ia murni kabar tidak lengkap atau kabar bohong,” jelas Miko seperti dikutip dari hukumonline. (*)