Harian Sederhana, Bogor – SUDAH lebih dari 20 tahun warga Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, hidup sengsara di tanah kelahirannya. Penderitaan itu dimulai ketika Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor atas persetujuan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor menjadikan kawasan pedesaan ini sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS).
Dulu, lahan TPAS merupakan lahan pertanian dan sawah produktif milik warga setempat. Kini, hampir separuh area Desa Galuga sudah berubah fungsi menjadi gunung sampah asal Kota Bogor. Bagi penduduk kampung ini, akhirnya terbiasa dengan udara beraroma busuk, air sumur kotor, banyak lalat, terkena penyakit kulit dan efek polutif lainnya.
Penderitaan hidup warga di Desa “Sampah” rupanya belum cukup. Jelang bulan suci ramadhan, kesengsaraan mereka bertambah. Hal tersebut setelah terjadi musibah jalan longsor di jalur menuju TPAS Galuga. Rumah-rumah penduduk yang persis berada di bawah jalan ambrol ikut terkena imbas retakan atau pergeseran tanah.
Kondisi cuaca buruk membuat keselamatan warga terancam. Untuk menghindari petaka yang bisa merenggut jiwa, membuat 14 kepala keluarga atau sebanyak 56 orang harus diungsikan ke tenda penampungan. Ya, warga harus menjalankan ibadah puasa tahun ini di tenda pengungsian.
Warga yang kebanyakan mencari nafkah sebagai pemulung sampah TPAS Galuga hanya bisa pasrah. Mereka tak punya pilihan selain bertahan di tenda pengungsian karena enggan menungsi jauh dari tempatnya mencari nafkah.
Salah seorang warga, Ocang mengaku prihatin lantaran banyak warga yang menderita akibat longsor yang terjadi 27 April 2019 itu. Hingga kini, belum ada perhatia dari pemerintah daerah setempat. Jalan masih dibiarkan rusak.
“Saya kasihan lihat warga yang mengungsi. Rumahnya sudah hancur enggak bisa diisi lagi. Memang sudah ada bantuan sosial dari Kepala Desa berupa sembako. Sebagian warga ada yang menumpang di rumah saudaranya, ada juga yang di mushola dan tenda,” ungkap Ocang kepada Harian Sederhana, kemarin.
Jalan yang rusak ini sudah tidak bisa dilewati kendaraan roda empat hanya bisa dilalui roda dua, itupun melalui jalan alternatif yang dibuat Ocang di samping jalan yang rusak tersebut. Padahal, jalan ini merupakan jalan utama warga dan juga jalur bagi truk pengangkut sampah yang ingin membuang sampah ke TPA Galuga.
Titin, salah satu warga yang menjadi korban, masih beraktivitas mengolah sampah di rumahnya yang setengahnya rusak akibat imbas dari jalan yg ambruk tersebut. Titin mengeluh sampai saat ini belum ada kepastian mengenai rumahnya yang hancur.
“Belum ada bantuan soal rumah, kemaren pak lurah cuman kasih sembako, tp rumah kan ini hancur, gak bisa ditidurin lagi, kalo tidur kita mah ke atas ke tenda,” ujar Titin.
Di tempat yang berbeda, istri Kepala Desa Endang mengatakan kalau suaminya, Endang sedang tidak ada di rumah, namun terkait musibah yang dialami warga desa Galuga akan segera diselesaikan. Menurutnya, warga yang sudah kehilangan tempat tinggalnya akan dibuatkan rumah di sekitaran TKP agar bisa tetap menjalani kehidupannya sebagai pengolah sampah.
“Iya nanti mau dibangunin rumah buat 14 keluarga yang rumahnya hancur, dibantu juga sama pemerintah daerah,” Ucapnya.
(*)