Harian Sederhana, Bogor – Usaha kopi kini menjamur di daerah Bogor dan sekitarnya. Banyak pengusaha muda yang mendedikasikan diri membangun bisnis ini meskipun harus mengeluarkan modal yang sangat besar.
Bisa dikatakan, kopi adalah bisnis kekinian namun dalam prakteknya menekuni usaha tersebut tidak hanya berpatokan pada modal saja, butuh ketahanan mental dan inovasi untuk menghadapi para pesaing. Seperti yang dilakukan Bety Nurbaety, pemilik bran Patani Coffee. Dirinya mengaku kopi miliknya berbeda dengan yang lain karena mekanisme pembuatannya dilakukan secara alami.
“Ini adalah kopi khas dari kampung halaman saya, yaitu Leuwiliang, Kabupaten Bogor,” tutur Bety saat dihubungi Harian Sederhana, Senin (17/6/2019).
Bahan baku pembuatan kopi, menurut dia berasal dari kebun sendiri dan kawan-kawan petani di sekitar Leuwiliang yang diolah dengan cara dijemur dan melewati beberapa proses natural untuk memenuhi standar kadar air biji kopi tersebut.
“Usaha ini ditekuni oleh saya dan suami, mulai dari kupas kulit sendiri penumpukan dan penyortiran juga dilakukan melalui beberapa grade. Sehingga bisa dipastikan kopi kami natural. Kemudian pada proses kedua yaitu fermentasinya kami buat dengan menggunakan alat roasting buatan sendiri sehingga rasanya berbeda dengan kopi lain,” bebernya.
Untuk produksi, Bety menuturkan telah menyiapkan beberapa produk seperti kopi seduh, sachet dan peralatan roasting bagi para penikmat kopi yang hendak menyeduh sendiri.
“Kemasan kopi sachet juga ramah lingkungan dari kertas dan buat sendiri. Selain itu, beberapa peralatan kami ciptakan sendiri dijamin murah meriah namun alami seperti roastingan dari gerabah, saringan bambu ini yang menyebabkan kopi beraroma dibandingkan roastingan modern,” tegasnya.
Bety menceritakan awal mula dirinya terpicu terjun ke dunia kopi karena dorongan dari hati melihat kopi di Indonesia saat ini muncul lebih mengikuti tren Barat, sedangkan kopi tradisional, diakuinya tidak kalah pamor.
Ia mengaku memulai usaha dengan keraguan dari keluarga besarnya. Sebab awalnya respon keluarga tahunya kalau di usaha kopi ini mungkin bisa dibilang tidak menjanjikan untuk masa depan apalagi di pedesaan yang terbiasa mengkonsumsi kopi sachet.
“Maka keluarga meragukan saya dan suami bisa mengangkat kopi Leuwiliang. Tapi sekarang keluarga sudah mulai mendukung serta ikut mempromosikan kopi kami robusta, arabika, membanggakan bahwa di Leuwiliang ada kopi karena selama ini di daerah itu yang terkenal hanya kemacetannya,” kelakar Bety.
Berkat kolaborasi ide bersama sang suami, Mohammad Arifin yang bekerja sebagai pendamping masyarakat di IPB Bogor mencoba untuk menelusuri kopi khas Leuwiliang.
“Suami mau membantu katanya, ada PLTA Karacak peninggalan Belanda. Dia yakin dimana ada Belanda pasti ada kopi setelah ditelusuri akhirnya ketemulah kopi ini,” tandasnya.
Harga yang ditawarkan untuk satu gelas kopi juga diakuinya tidak terlalu mahal, sehingga banyak pelanggan dari luar wilayah Jabodetabek berdatangan untuk menikmati nikmatnya kopi Leuwiliang.
“Memang tidak terlalu mahal, omset perbulan diangka Rp 3 – Rp 4 Juta. Insha Allah ditahan ketiga naik,” paparnya.
Namun, selama perjalanan membangun jaringan usaha banyak kendala yang harus dihadapi mulai dari masalah klasik hingga eksternal dan internal. Salah satunya, masalah SDM untuk membantu memproduksi kopi.
“Selain itu banyak pesaing baru, yah itulah dunia usaha. Hal ini yang melecut kami untuk lebih baik. Tapi dari semua dinamika usaha yang kami yakin bisa lebih sukses di masa mendatang,” tandasnya.
Bagi masyarakat yang ingin menikmat secangkir kopi buatan Bety bisa datang langsung ke Kedai Kopi Patani Barengkok yang berada di Jalan Moh. Non Nur, Pertokoan Ponpes Putri Sukaaasih, No. 5-6, Desa Barengkok, Leuwiliang, Bogor.
“Bisa juga keopin IG kami di coffeepatani atau di Fan Page Facebook dengan nama Patani Coffee,” tandasnya.
(*)