Harian Sederhana, Bogor – Sebagai salah satu penyangga ibu kota, Kota Bogor terus berupaya melakukan pembenahan sistem transportasinya. Apalagi wilayah tersebut acap kali menjadi tempat persinggahan warga ibu kota.
Apalagi Kota Bogor mendapat julukan kota seribu angkot karena keberadaan angkot yang sangat banyak dan memperuwet kondisi lalu lintas yang sudah ruwet. Hal inilah yang membuat Wali Kota Bogor, Bima Arya terus memutar otak untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Salah satunya adalah dengan tidak memperpanjang izin masa operasional untuk angkot yang laik jalan. Karenanya dia optimis kota yang dipimpinnya akan steril atau bebas dari angkot di tahun 2022, seiring dengan menurunnya jumlah angkot lantaran izinnya tidak diperpanjang.
“Akhir tahun ini ada 800 unit angkot yang tidak diperpanjang izinnya karena tidak laik jalan,” tuturnya kepada wartawan seperti dikutip dari Antara, Kamis (05/09).
Menurutnya, dengan pengurangan tersebut akan menyisakan 1.600 unit angkot yang beroperasi di tahun 2020. Pasalnya, berdasarkan data dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor, jumlah angkot di Kota Bogor hingga akhir tahun lalu ada sebanyak 2.400 unit.
“Tahun 2022 angkot sudah hilang, secara alamiah karena semakin lama akan berkurang, tapi kita kan harus pikirkan kemana mereka (sopir) setelah itu, makanya ada konversi,” kata Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Bima menyebutkan bahwa program konversi tiga angkot menjadi satu bus tengah diramu Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Opsi terbaru, ia akan mempersilahkan badan hukum angkot yang mengonversi kendaraannya ke bus untuk berinvestasi pada moda transportasi yang juga akan dibangun Pemkot Bogor, yaitu Trem.
“Ini yang sekarang kita lobi. Untuk masuk, untuk berinvestasi dengan badan hukum ini berbagi saham disini. Modelnya seperti itu,” tutur Bima
Pasalnya, hingga wacana pembuatan moda transportasi berbasis rel itu digulirkan, ia belum mengetahui pihak mana yang akan menjadi operatornya. Tapi, menurutnya Pemkot Bogor sedang menjalin komunikasi dengan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) untuk melakukan kajian operasional Trem di Kota Bogor.
Ia mengatakan bahwa kajian itu juga akan dianggarkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bogor serta BPTJ dengan estimasi senilai Rp 200 juta.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah Kota Bogor akan menghapus sedikitnya 1.700 angkutan kota yang berada di 32 trayek peremajaan angkutan. Berdasarkan surat edaran nomor 551.21/383-Angkutan tertanggal 16 Mei 2019 yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan Kota Bogor, pengusaha angkutan kota nantinya diminta mengganti armada yang sudah tak layak jalan dengan angkutan massal yang lebih besar.
“Pengurangan dan penghapusan kendaraan akan dilakukan secara bertahap dengan cara mengganti dengan bus sedang dan mengganti dua angkutan massal kecil dengan angkutan massal sedang atau tiga angkutan massal kecil diganti dengan angkutan massal besar,” begitu kira-kira bunyi surat edaran tentang Batas Usia Operasional Kendaraan Angkutan Perkotaan dan Mekanisme Perpanjangan Perizinan Angkutan Dalam Trayek di Wilayah Kota Bogor tersebut.
Sesuai batasan usia layak jalan, penyedia jasa layanan angkutan harus sudah mengganti kendaraan yang berusia di atas duapuluh tahun. Sedangkan, kendaraan yang berusia sepuluh tahun harus melalui uji kelayakan jalan.
Saat ini, jumlah angkutan kota di Kota Bogor diperkirakan mencapai 3.412 angkot. Sekitar separuhnya merupakan kendaraan produksi sebelum tahun 2000. Itu berarti separuh dari kendaraan-kendaraan itu nantinya harus diremajakan atau diganti dengan bus sedang dan bus besar.
Dari 700 Angkot yang habis izin masa operasionalnya, hingga saat ini Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor baru mampu sekitar 72 angkutan. Artinya 628 unit masih diburu untuk diremajakan.
Kepala Seksi (Kasi) Pengujian Kendaraan Bermotor pada Dishub Kota Bogor Rudi Partawijaya mengatakan, peremajaan 72 angkot tersebut dilakukan sejak Juni 2019 hingga hari ini.
Menurut dia, rata-rata angkot tersebut telah beroperasional sejak tahun 1999 kebawah. Dishub memberikan waktu enam bulan setelah uji KIR untuk pemilik kendaraan melaksanakan P5 yang terbagi dari dua jenis.
“Yang habis masa operasionalnya tidak diberi lagi perpanjangab izin, jadi diubah status menjadi mobil preman atau pelat hitam atau di besi tua kan. Karena dalam unsur usia sudah tidak memadai dan beresiko, menyangkut keselamatan,” ujarnya, Rabu (28/08).
Diakui Ridi, peremajaan itu tidak dihabiskan langsung di tahun 2019. Tetapi secara bertahap hingga batas waktu Februari 2020. Hal itu lantaran pengujian berkala atau KIR kendaraan dilakukan selama enam bulan sekali.
“Paling tidak dalam satu hari ada dua hingga tiga kendaraan yang melewati batas usia operasional. Jadi perhari itu akan kena, di tahap satu sampai Februari 2020 totalnya kurang lebih 700 kendaraan, nanti setelah Februari 2020 akan berkala lagi. Jadi kendaraan tahun 2000 kebawah pasti kena lagi,” jelasnya.
Sekedar diketahui, peremajaan pada angkot usia 20 tahun itu berdasarkan Surat Edaran nomor 551.21/383-Angkutan tentang Batas Usia Operasional Kendaraan Angkutan Perkotaan dan Mekanisme Perpanjangan Perizinan Angkutan Dalam Trayek di Wilayah Kota Bogor pada bulan Mei 2019.
Kegiatan yang seharusnya diberlakukan pada tanggal 1 Juni itu terpaksa ditunda lantaran sosialisasi kepada Organda dan Koperasi Badan Hukum dilakukan selama satu bulan. Hingga pada akhirnya keputusan itu baru dilaksanakan pada tanggal 17 Juni 2019.
SEMPAT TERJADI PENOLAKAN
Penolakan rencana peremajaan Angkutan Kota (Angkot) yang dilakukan Dinas Perhubungan (Dishub) disikapi serius DPRD Kota Bogor. Pihaknya menilai jika menimbulkan polemik, maka lebih baik program tersebut dihentikan.
Ketua Komisi III DPRD Kota Bogor Mahpudi Ismail menyatakan sebenarnya hal tersebut klasik dan sudah berjalan sejak lama. Tetapi baginya semua program pemkot silahkan jalankan dengan catatan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
“Kalau terjadi penolakan berarti ada apa, jadi untuk stakeholder terkait silahkan ajak komunikasi, karena ini menyangkut kepentingan orang banyak,” kata Mahpudi, Senin (17/6/2019).
Politisi Gerindra itu melanjutkan, dalam menjalankan program penolakan itu berada di ujung, berarti komunikasinya tidak berjalan atau tahap sosialisasinya yang kurang maksimal.
“Yang pasti bagi kami di dewan, apapun programnya baik penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) maupun penataan transportasi silahkan jalankan, tapi yang harus diperhatikan disini ada pelaku ekonomi yang harus dipikirkan,” ujarnya.
Mengenai program kata dia, DPRD mempersilahkan sepenuhnya karena itu otoritas mereka (Diahub-red), tapi dalam prosenya harus dikomunikasikan dengan masyarakat dan semua stakeholder yang berkaitan.
“Ajak bicara para pemilik angkotnya, para sopirnya enaknya seperti apa, komunikasi juga dengan semua pihak-pihak terkait. Yang penting endingnya sama-sama happy tidak ada gejolak di kemudian hari, kita kan fair,” jelasnya.
Tetapi lanjut dia, jika memang riilnya nanti ada gejolak maka pihaknya harus memfasilitasi, terlebih tingkat kerawanan ekomoni saat ini seperti apa.
“Intinya, kami tidak ada di pihak birokrasi, pengusaha atau di pihak pelaku ekonomi, siapapun kalau memang program itu happy ya mangga laksanakan,” tambahnya.
Sekali lagi dirinya menegaskan, kalau sebuah program itu ditolak, berarti dalam prosesnya bermasalah. “Kenapa mereka melakukan penolakan, berarti dalam prosesnya ada yang tersumbat, mungkin komunikasiya tidak jalan atau ada yang terlewat. Mangga itu diatur ngobrol seperti apa solusinya,” tegasnya.
Dirinya mengaku, bagi DPRD jangankan bulan atau minggu depan, sekarang pun program mau launcing laksanakan. Tetapi jika menimbulkan gejolak, maka lebih baik dihentikan dan itu dilakukan kajian ulang. (*)