Harian Sederhana, Depok – Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), Roy Pangharapan mengatakan kurang lebih sekitar 21 siswa lulusan sekolah menengah pertama atau SMP terpaksa harus gigit jari. Hal ini dikarenakan sejumlah SMA Negeri yang ada tidak menampung para pelajar tersebut.
Roy Pangharapan mengatakan terdapat beberapa siswa di Kecamatan Beji tidak dapat bersekolah karena di daerah tersebut tidak ada SMA dan SMK negeri.
“Sadisnya diantara 21 siswa yang itu ada dua diantaranya adalah anak yatim. Kasihan sekali kan sampai mereka tidak bisa masuk sekolah negeri,” tuturnya kepada wartawan, Senin (1/7/2019).
Menurut dia, hal ini menjadi masalah besar ketika Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi tidak mampu mengakomodir pelajar di Kota Depok.
Lebih lanjut, Roy mengaku pihaknya ingin melalukan pertemuan dengan Walikota Depok dan Kemendikbud RI terkait adanya penolakaan SMK dan SMA Negeri terhadap 21 siswa miskin,
“Kami menuntut Walikota Depok dan Kemendikbud RI untuk membantu mengakomodir siswa tersebut,” kata Roy.
Warga Sukatani, Tapos, Depok bernama Yuswati (61) merasa bingung mengurus sekolah anaknya, Nurlita Ade Lia.
Yuswati mengaku sempat mendaftarkan anaknya ke SMA Negeri 4 karena mengikuti domisili Sukatani mengacu pada sistem zonasi. Dia mengaku tidak memiliki penghasilan tetap, semenjak ditinggal suaminya empat tahun lalu.
Dia berharap walikota maunya menemuinya untuk mencari solusi keberlangsungan pendidikan anaknya.
“Kalau di swasta yang bagus kan lebih mahal, kalau di sekolah negeri bisa diusahakan,” tukas Yuswati.
Sebelumnya Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang memberlakukan sistem zonasi dinilai tidak adil. Ditambah lagi dari metode pendaftaran yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dinilai tidak menyiapkan secara baik.
“Kan sekarang sudah era digital, kenapa tidak mengambil nomor antrian melalui internet sehingga tidak terjadi penumpukan. Nih kayaknya sangat ketinggalan sekali dari sistem yang harusnya sudah ada,” tutur Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat, Imam Budi Hartono kepada Harian Sederhana, Selasa (18/6/2019).
Dia menegaskan, sistem zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dinilainya juga tidak adil. Pertama, dengan dikembalikannya kewenangan SMA/SMK ke provinsi membuat permasalahan menjadi lebih jauh tidak dekat kepada pemerintah Kabupaten Kota, sehingga ketika kita ingin berbuat sesuatu meminta masukan sesuatu menjadi jauh.
“Yang kedua adalah ketidaksiapan dalam pemerataan sekolah di setiap tempat. Menurut saya di Jawa Barat belum tepat dilakukan sistem ini karena jumlah SMA/SMK yang ada masih sedikit. Kasihan kan masyarakat yang memiliki kemampuan baik tapi tidak bisa masuk lantaran tempat tinggalnya tidak ada satu pun yang dekat dengan SMA/SMK favorit atau SMA/SMK negeri yang ada di sekitar mereka,” papar pria yang akrab disapa IBH tersebut.
Bila jumlah sekolah sudah cukup, lanjutnya, boleh-boleh saja memberlakukan sistem tersebut. Namun, karena jumlah SMA/SMK negeri masih terbatas maka diharapkan sistem ini untuk dihapuskan.