Harian Sederhana, Tambun Selatan – Afiat Yoga Nirmala dari Dinas Budaya Pemuda dan Olah Raga (Disbudpora) Pemerintah Kabupaten Bekasi pengelola bangunan bersejarah Gedong Juang 45 Tambun kembali mengingatkan masyarakat Bekasi tentang sejarah asal muasal bangunan tinggi di depan pasar dan di belakang stasiun kereta api Tambun tepatnya di Jalan Sultan Hasanudin Nomor 39 Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi Jawa Barat.
Menurut Yoga panggilan akrabnya, bangunan bersejarah Gedung Tinggi 45 adalah sebuah situs sejarah yang terletak di Kecamatan Tambun Selatan, sebelum revolusi nasional, bangunan ini bernama Landhuis Tamboen atau Gedung Tinggi, dan merupakan pusat tanah partikelir milik keluarga Khouw van Tamboen.
“Gedung Juang Tambun dan stasiun Tambun yang terletak di belakang gedung ini, dua-duanya bergaya Art Deco dan merupakan satu kesatuan sejarah tidak terpisahkan. Mungkin itu sebabnya ada bunker,” kata Yoga.
Selanjutnya Yoga memaparkan, Gedung Tinggi Tambun dibangun dengan dua tahap. Tahap pertama pembangunan mulai pada 1906, dan selesai pada 1910. Kemudian tahap kedua pada 1925.
Pemiliknya seorang tuan tanah, Khouw Tjeng Kee, Luitenant Cina. Ia mempunyai dua saudara laki-laki, Luitenant Khouw Tjeng Tjoan dan Luitenant Khouw Tjeng Po. Ayah mereka adalah seorang tuan tanah bernama Luitenant Khouw Tian Sek.
“Setelah kematian Luitenant Khouw Tjeng Kee, kepengurusan baik tanah partikelir maupun Landhuis Tamboen jatuh ke tangan putra sang Luitenant, yaitu Khouw Oen Hoei. Ia adalah adik O. G. Khouw yang dimakamkan di mausoleum tersohor dan mewah di TPU Petamburan.”Papar Yoga
Menurut Yoga, sepupu mereka yang paling terkemuka pada era kolonial adalah Khouw Kim An, Majoor Cina terakhir di Batavia, adalah putra paman mereka, Luitenant Khouw Tjeng Tjoan. Landhuis dan tanah partikelir Tamboen disita di zaman Jepang dari keluarga Khouw van Tamboen pada 1942 di tengah penjajahan Jepang.
“Pada 1943 tentara Jepang menjadikannya sebagai salah satu pusat kekuatan dalam menjajah Indonesia.”Terangnya
Pada akhir masa penjajahan Jepang, terjadi sebuah peristiwa besar pembantaian tentara Jepang oleh pejuang kemerdekaan Indonesia, di mana tentara Jepang yang pada saat itu menggunakan kereta api melintasi wilayah Bekasi hendak meninggalkan Indonesia melalui Bandar Udara Kalijati, Subang relnya dibelokkan ke rel buntu yang membuat kereta terperosok, kemudian tentara Jepang yang sebagian besar tidak bersenjata dikarenakan mereka menyimpan senjatanya di gerbong barang, dibantai oleh pejuangan kemerdekaan Indonesia dan mayatnya dibuang di kali Bekasi.
“Masa mempertahankan kemerdekaan setelah Jepang menarik diri dari Indonesia pada 1945, KNI (Komite Nasonal Indonesia) menjadikan Gedung Tinggi Tambun sebagai kantor Kabupaten Jatinegara,” ulas Yoga.
Tidak hanya menjadi kantor kabupaten, gedung ini juga dijadikan sebagai menjadi tempat pertahanan dan pusat komando dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari tentara sekutu yang hendak menjajah Indonesia kembali.
Pada saat perang kemerdekaan melawan Belanda, Gedung Juang 45 yang pada saat itu dikenal dengan nama Gedung Tinggi dijadikan tempat pertahanan oleh para pejuang kemerdekaan yang berpusat di wilayah Tambun dan Cibarusah.
Akibat pertahanan Belanda di wilayah Bekasi sering diserang, maka Belanda sering meninggalkan tempat pertahanannya di wilayah Bekasi dan menarik diri untuk memperkuat wilayah pertahanannya di Klender, yang kemudian menjadi batas antara kota Bekasi dengan Jakarta Timur.
“Gedung ini juga menjadi tempat perundingan pertukaran tawanan antara Belanda dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia,” tambah Yoga.
Pejuang kemerdekaan Indonesia dipulangkan oleh Belanda ke wilayah Bekasi dan tentara Belanda dipulangkan ke Batavia melalui Stasiun Tambun yang lintasan relnya tepat berada di belakang gedung ini.
Pada akhir 1947, Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati dan melakukan agresi militer pertama, Gedung Tinggi Tambun pun dapat dikuasai oleh Belanda setelah melakukan serangan bertubi-tubi hingga tahun 1949 Namun tahun 1950 pejuang Indonesia dapat merebut kembali gedung ini.
“Setelah gedung ini berhasil dikuasai dan wilayah Tambun berhasil diamankan, maka aktivitas pemerintahan kembali dilakukan di gedung ini,” terangnya.
Tercatat pada 1950 Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bekasi menempati gedung ini kali pertama, disusul oleh kantor-kantor dan jawatan lainnya hingga akhir 1982. Pada tahun 1951 gedung ini diisi oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat, Batalyon Kian Santang.
“Lembaga wakil rakyat pun pernah berkantor di gedung ini hingga 1960 di antaranya DPRD Sementara, DPRD Tk II Bekasi dan DPRD-GR hingga 1960,” ujarnya
Selain itu pada 1982, Bupati Bekasi yang juga seorang budayawan, Abdul Fatah yang menjabat dari 1973 – 1983 membentuk Akademi Pembangunan Desa (APD) di wilayah Tambun dengan menggunakan Gedung Tinggi Tambun sebagai kampusnya.
Akademi Pembangunan Desa (APD) ini pada masa sekarang telah menjadi Universitas Islam 45 Bekasi dan telah memiliki kampus sendiri di dekat saluran Irigasi Tarum Barat sekarang biasa disebut Kali Malang tepatnya di Jalan Cut Meutia, Kota Bekasi.
“Bahkan para tokoh tua (Sesepuh Tambun) yang tergabung dalam Organisasi Ekponen Gedong Tinggi (Gedung Juang 45 Tambun) meminta agar bangunan bersejarah ini, menjadi pusat kebudayaan Bekasi dan juga meminta kepada Pemkab Bekasi agar selain pengelola gedung Juang tidak adalagi instansi lain yang ada di area gedung betujuan kelestarian sejarah selalu terjaga,” tutupnya. (*)