Pria yang akrab disapa IBH ini menyinggung soal permintaan Pemkot Bekasi asrama haji yang berada di wilayahnya bisa dijadikan tempat perawatan bagi penderita positif Covid-19.
Jika dipastikan bisa digunakan, akan ada prosedur lain yang harus dipersiapkan, seperti alat kesehatan dan lainnya. Itu sudah pasti memakan waktu. “Surat sudah dilayangkan, tapi belum juga dapat jawaban,” ujarnya.
Akibat minimnya persiapan, IBH mengusulkan agar pelaksaan tidak dilakukan terburu-buru. IBH lebih menyarankan agar tidak dilakukan secara massal, diluar persiapan anggarannya.
“Segala sesuatunya masih sangat minim, serba kekurangan. Karena itu, kami usulkan agar pelaksanaan tidak dilakukan dengan cara seperti ini,” kata IBH.
IBH meminta segala sesuatunya dilakukan semata-mata demi masyarakat dan tidak dijadikam ajang pencitraan. Karena bagi yang terkonfirmasi positif, penanganan untuk satu orang menghabiskan sekitar Rp 50 juta per hari.
“Jika satu hari Rp 50 juta seorang, bayangkan untuk penanganan 14 hari dengan banyak pasien? Kebijakan ini yang harus disepakati antara gubernur dengan dewan provinsi,” kata IBH.
Pernyataan politisi PKS ini juga merujuk surat Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat yang ditujukan ke Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat terkait penyikapan rencana penanganan Covid-19.
Dimana di dalam surat itu Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat menyikapi rencana gubernur yang akan melakukan rapid test secara massif di tiga stadion di Jawa Barat. Komisi V menilai rencana tersebut melanggar prinsip social distancing yang pernah Gubernur sampaikan dalam rapat dengan DPRD beberapa waktu lalu.
“Sementara rencana rapid test yang akan dilakukan di Depok, kami sudah berkoordinasi dengan tim gugus tugas dan DPRD Depok agar sebaiknya ditunda. Karena kami melihat juklak juknisnya belum siap,” tandas IBH.
Terpisah, Wali Kota Depok Mohammad Idris menegaskan pihaknya membatalkan rapid test yang sebelumnya direncanakan di alun-alun dan berubah pelaksanaannya di seluruh Puskesmas.
“Terkait rencana rapid test, ada perubahan tempat untuk Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang rencananya dilaksanakan di alun-alun dibatalkan,” tuturnya dalam siaran pers, Senin (23/03).
Ia pun menerangkan, untuk rapid test tersebut sasarannya adalah rumah sakit yang merawat Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan juga tenaga kesehatan yang tidak menggunakan APD lengkap saat merawat atau melakukan kontak dengan pasien positif corona.
“Kemudian sasaran selanjutnya adalah Puskesmas. Untuk seluruh ODP dan pasien yang datang ke Puskesmas memiliki indikasi mirip Covid-19 serta tenaga kesehatan yang juga tidak mengenakan APD (akan diperiksa rapid test),” ujarnya. (*)