Di sisi lain, Beka menyampaikan Pemkot Depok semestinya tidak melakukan diskriminasi terhadap kelompok LBGT. Dia berkata penguatan bagi pemda tentang perlindungan terhadap hak hidup warganya dipertegas dalam lingkup kebijakan nasional. Terlebih, pada 17 Oktober 2019, Indonesia terpilih menjadi Anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2020-2022.
“Sehingga mekanisme kerja yang dibangun oleh setiap lembaga negara, termasuk Pemerintah Kota Depok wajib berbasis pada prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia,” ujarnya.
Tak hanya itu, Beka berkata diskriminasi terhadap LGBT mestinya tidak terjadi, karena Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1992 telah menghapus kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender dari daftar penyakit kejiawaan.
Ketentuan dari WHO itu, lanjut Beka, diimplementasikan oleh Kementerian Kesehatan melalui Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III tahun 1993 yang menyatakan bahwa kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender bukan merupakan penyakit jiwa maupun cacat mental.
Beka menambahkan Komnas HAM telah melayangkan surat kepada Wali Kota Depok untuk meminta pembatalan kebijakan serta permintaan perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender tersebut.
Lebih dari itu, Komnas HAM meminta Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kooordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk meningkatkan kualitas pemerintahan daerah.
“Terakhir, Komnas HAM meminta kepada Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kooordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk meningkatkan kualitas pemerintahan daerah sehingga kebijakan yang diskriminatif, merendahkan harkat dan martabat manusia serta membuka potensi terjadinya persekusi dan tindakan melawan hukum lainnya tidak lahir,” tutup Beka.
Sementara itu, Ketua Fraksi PDIP DPRD Kota Depok, Ikravany Hilman menilai imbauan Wali Kota Depok, Mohammad Idris soal razia kepada kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT adalah hal konyol.
“Bagaimana caranya mau merazia LGBT, apakah kalau ada orang yang ngontrak sejenis kemudian kita curigai, kita masuki rumahnya malam-malam. Padahal belum tentu orang itu melakukan tindakan tersebut, malah kalau itu dilakukan maka akan terjadi banyak pelanggaran-pelanggaran,” tuturnya kepada wartawan, Senin (13/01).
Ikra sendiri menyebut, Wali Kota Depok diminta harus banyak membaca perihal LGBT. Secara penelitian ada dua kubu yang menjelaskan bahwa LGBT itu muncul karena masalah-masalah atau kondisi sosial tertentu, sedangkan yang satu lagi menyebut LGBT itu justru lahir lantaran problem genetik.
“Nah, kalau genetik ini sejak lahir salah satu dari bagian otak kita itu berbeda antara heteroseksual dengan homoseksual, kalau sudah berbeda seperti itu maka nanti produksi hormonnya juga berbeda. Kan manusia ini ada dua jenis kalau bicara gender, satu testosteron itu hormonnya laki-laki dan progresteron untuk yang perempuan,” katanya.
“Tapi kalau otak kita sudah berbeda, seperti yang tadi saya bilang, kalau saya ini laki-laki tapi kalau otak saya terbentuk untuk punya kecenderungan perempuan maka hormon yang terbentuk di hormon saya ini itu progresteron. Makanya tindakan saya itu menjadi lebih feminim karena hormon itu, lah memang manusia bisa mengontrol pembentukan hormon, kan ga bisa,” lanjut Ikra.
Dia menerangkan, seharusnya Wali Kota Depok melakukan pembenahan sosial bukan malah sebaliknya melihat sebagian warganya terjangkit virus atau penyakit.
“Saya sebagai muslim menolak LGBT, bahkan tidak ada satu agama pun menyetujui hal tersebut (LGBT). Tapi, bukan kewenangan suatu kota untuk mengurus dosa warganya, bukan wali kota yang mengurus itu,” kata Ikra.