Harian Sederhana, Kukusan – Warga di RW 06 Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji yang merupakan korban pembangunan jalan Tol Cinere-Jagorawi meminta bantuan kepada Presiden Joko Widodo. Permintaan keadilan tersebut mereka tuangkan dalam bentuk spanduk yang dipasang di samping Tol Cijago – Cinere, tepatnya di wilayah Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji.
Di spanduk bertuliskan “Pak Jokowi Ada 16 Bidang Tanah Warga Belum dibayar Tol Cijago, Agar Berkah Tolong Diselesaikan”.
Salah satu warga, Samsudin kepada wartawan pada Selasa (23/7) mengatakan, selama ini pihaknya merasa dirugikan akibat pembangunan Tol Cijajgo yang dalam proses pembebasan tanahnya tidak sesuai dengan keinginan warga.
“Spanduk itu hanya bentuk aspirasi warga. Kami hanya minta pak Jokowi mau bantu kami sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini,” katanya.
Dia mengatakan proses pembebasan tanah dimulai tahun 2006 tahap sosialisasi, kemudian tahun 2010 diinventarisasi lahan dan bangunan sedangkan pemberian harga tanah dilaksanakan pada tahun 2012.
“Dari situ aja sudah lama, janji 3 bulan sejak sosialisasi akan segera dilakukan pemberian harga kepada kami,” katanya. Ditambahkannya, pemberian harga itu berdasar zona dan inilah warga tidak sepakat.
Warga keberatan karena pembayaran melalui zona sangat tidak sesuai aturan dan merugikan masyarakat dan keputusan yang diambilpun tidak melalui musyawarah dengan warga.
Selanjutnya karena ketidak sepakatan, warga akhirnya mengadu kepada Ombusmen Republik Indonesia. Dan dari Ombudsman keluar imbauan agar pihak tol membayar keseluruhan tanah dengan harga Rp 4.850.000 per meter.
Jadi Ombudsman meminta harga per meter disamakan yaitu Rp 4.850.000. Jadi tidak pakai zona. Namun, kesepakatan tidak ditaati dan mereka tidak jalankan.
Selanjutnya pada Juli 2014 karena tidak dijalankan oleh pihak Tol, Ombudsman kembali mengeluarkan tiga rekomendasi yaitu hentikan aktifitas proyek, melakukan penilaian kembali dengan sistem bidang perbidang, melakukan pembinaan terhadap aparat yang diduga melakukan intimidasi.
Setelah itu, Ombudsman mengeluarkan surat rekomendasi bahwa pihak Tol Cijago dinilai melakukan maladministrasi dalam pembebasan lahan.
Berdasarkan rekomendasi tersebut pihak tol melakukan penilaian ulang terhadap tanah dan pada saat itu telah berlaku peraturan pembelian tanah sesuai standar pembelian internasional (SPI) sesuai pasar.
“Tahun 2019 telah berlaku aturan bahwa pembebasan lahan untuk kepentingan umum harus bidang perbidang. Yaitu sekitar Rp10 juta permeter contohnya seperti pembebasan tanah untuk apartemen samping tol itu satu meter harga tanah Rp 10 juta.
Namun, anehnya ketika dilakukan penilaian pihak tol hanya mau membayar tanah warga dengan harga tahun 2015. Padahal saat itu sudah berlalu pembayaran tanah sesuai SPI premium.
“Kami tidak mau menerima karena pihak proyek hanya membayarkan sesuai dengan harga tahun 2015. Jadi harga tahun 2015 itu ada yang Rp 6 juta, Rp 8 juta dan ada yang Rp 9 juta permeter,” katanya.
Selanjutnya, keputusan diambil atas musyawarah dengan warga pada tahun 2017. “Kan aneh masa keputusan diambil tahun 2015 kan mundur,” ujarnya.
Sampai saat ini 16 warga yang tanahnya diambil belum mau menerima pembayaran konsinyasi melalui pengadilan. Alasan warga pembayaran tersebut tidak sesuai standar.
“Mereka membayar lewat pengadilan konsinyasi dengan harga tahun 2015. Kita tidak mau dan uang belum kita ambil. Sebab kita juga masih melakukan banding atas keputusan tersebut,” pungkasnya.
(*)