Harian Sederhana, Depok –Kecerobohan petugas puskesmas yang memberikan obat kadaularsa bahkan sampai salah memberi obat dinilai sangat membahayakan para pasien atau masyarakat Kota Depok. Selain itu dengan adanya kejadian seperti ini membuat warga yang ingin berobat ke puskesmas menjadi takut.
Menanggapi hal tersebut Wakil Ketua DPRD Kota Depok, Hendrik Tangke Allo menuturkan maraknya pemberian obat kadaluarsa kepada pasien bisa disebut sebagai malapraktik. Bahkan, politisi PDI-P ini tidak habis pikir kenapa bisa petugas puskesmas yang paham akan kesehatan termasuk obat-obatan bisa mengeluarkan obat kadaluarsa kepada pasien.
Baca juga: (Soal Obat Puskesmas Kadaluarsa, DPRD: Dinas Kesehatan Harus Evaluasi)
“Yang memberikan obat kadaluarsa adalah orang-orang puskesmas yang paham tentang kesehatan termasuk obat-obatnya. Maka ketika itu diberikan kepada pasien dan di konsumsi dan menimbulkan efek yang ngga bagus bagi kesehatan, saya tegaskan itu adalah malapraktek,” tutur pria yang akrab disapa HTA ini ketika dikonfirmasi, Rabu (02/10).
Ia mengatakan, bila ada obat-obat kadaluarsa yang beredar di sejumlah puskesmas hal tersebut merupakan keteledoran yang luar biasa. HTA bahkan menyebut dari temuan ini sendiri sudah ada kesalahan SOP dari pihak puskesmas. “Sudah ada SOP dalam memberikan obat untuk pasien. Ini pasti tidak dijalankan,” imbuhnya.
Baca juga: (Soal Obat Kadaluarsa, Masyarakat Diminta Preventif dan Promotif)
Untuk itu, HTA meminta kepada Dinas Kesehatan atau Dinkes Kota Depok untuk segera menarik peredaran seluruh obat yang telah beredar di puskesmas-puskesmas. Hal ini tujuannya agar dilakukan pemeriksaan supaya kejadian seperti itu tak kembali terulang.
“Dinkes harus turun, tarik semua obat dari puskesmas serta berikan yang baru. Siapa tahu obat-obat kadaluarsa ini masih ada beredar. Kan ini bahaya, tidak main-main,” katanya.
Baca juga: (Seorang Bayi Jadi Korban Obat Kadaluarsa)
Ketua DPRD Kota Depok periode 2014-2019 ini berharap masyarakat yang sudah terlanjur menerima dan mengkonsumsi obat kadaluarsa ini segera pulih. “Semoga warga yang terkena dampak obat kadaluarsa segera pulih seperti sedia kala,” harapnya.
Sementara itu kejadian pemberian obat kadaluarsa sendiri membuat Ketua LSM Kapok, Kasno ikut angkat bicara. Bahkan dirinya meminta kepada Wali Kota Depok, Mohammad Idris untuk mengganti Kepala Dinkes Kota Depok beserta Kepala Puskesmas (Kapuskesmas) Cilodong dan Puskesmas Beji.
Kasno mengatakan yang paling bertanggungjawab bila ada masyarakat sampai keracunan obat kadaluarsa adalah orang-orang tersebut. Karena itu ia meminta kepada Wali Kota Depok untuk bersikap tegas.
“Coba kalau seandainya orang itu sampai keracunan siapa yang tanggung jawab. Itu seharusnya kepala dinas sama kepala puskesmas-nya dicopot, bahaya itu. Wali Kota harus berani ngambil tindakan itu,” kata Kasno saat dihubungi wartawan.
Aktivis anti korupsi ini mengatakan teguran yang telah diberikan kepada Kadinkes Kota Depok beserta Kepala Puskesmas Beji dan Cilodong dirasa belum cukup. Pasalnya, pemberian obat kadaluarsa ini merupakan kecerobohan dari petugas yang bisa menyebabkan seseorang kehilangan nyawanya lantaran keracunan obat kadaluarsa.
“Enak banget kalau cuma ditegur. Itu masuk malapraktik, copot kepala puskesmas dan kepala dinasnya,” kata Kasno.
Ia pun menyayangkan kejadian pemberian obat kadaluarsa bisa terjadi. Untuk itu kepala puskesmas harus bertanggung jawab lantara telah lalai dalam menjalankan fungsinya untuk menjamin kualitas obat. Mesktinya kepala puskesmas rutin melakukan pemeriksaan obat agar tidak terjadi peredaran obat kadaluarsa.
“Kalau obat baru datang dari Dinkes kan ada delivery order nya itu pasti rata-rata obatnya masih bagus. Nah bagaimana dengan stok obat yang ada, apakah rutin diperiksa kadaluarsanya?,” ujar Kasno.
Petaka Obat Kadaluarsa
Seperti diketahui belakangan waktu ini masyarakat Depok diresahkan dengan beredarnya obat kadaluarsa. Pasalnya, sudah ada warga yang menjadi korban dari obat kadaluarsa ini dan parahnya salah satu korban adalah seorang bayi berusia tiga tahun.
Bukan hanya terkena obat kadaluarsa, bayi tersebut diduga juga menjadi korban salah obat. Hal tersebut diungkapkan ibu korban, Septiany saat ditemui wartawan, Kamis (26/09).
Ia mengatakan, anak perempuan itu mengalami batuk pilek usai imunisasi difteri 1 dan polio beberapa pekan sebelumnya. Lantaran tak kunjung reda, ia membawa sang buah hati ke Puskesmas Beji Timur.
“Anak saya diberikan (obat-red) racikan sama paracetamol tapi obatnya tidak saya minumkan karena masih ada yang lama,” tuturnya.
Selang beberapa hari, si bayi ini ternyata tidak sepenuhnya sembuh malah timbul bercak seperti cacar di kulit bayi tersebut. Septiany pun kembali membawa si bayi ke Puskesman dan mendapatkan obat salep. Bukan mereda, bercak yang dialami si bayi malah menyebar ke bagian tubuh lain.
Kondisi tersebut membuat Septiany membawa anak semata wayangnya ini ke dokter spesialis kulit. Selepas mendapatkan diagnosa, ia pun diberitahu kalau dosis salep yang dipakai bayinya ini hanya untuk dewasa.
“Kata dokter spesialis salep itu terlalu keras untuk bayi karena memang untuk orang dewasa,” katanya.
Tak sampai di situ, Septiany semakin kaget manakala parasetamol yang dia dapat tempo hari dari Puskesmas sudah kedaluwarsa. Pada kemasan tertera obat diproduksi pada Juni 2017 dan habis masa pakainya pada Juni 2019. “Puskesmas sudah datang dan meminta maaf,” imbuhnya.
Sebelumnya kejadian obat kadaluarsa sendiri juga menimpa Nur Istiqomah, seorang ibu rumah tangga warga Villa Pertiwi yang mengalami hal naas tersebut. Parahnya, wanita berusia 50 tahun sempat mengalami mual, berkeringat serta kepala pusing yang diduga terjadi selepas mengkonsumsi obat kadaluarsa yang didapat di Puskesmas Vila Pertiwi Cilodong.
Untungnya, hal tersebut segera diketahui sehingga Nur pun langsung menghentikan konsumsi obat kadaluarsa tersebut. Terkuaknya kalau obat yang dikonsumsi itu sudah kadaluarsa selepas Nur berobat di klinik dekat tempat tinggalnya. Dari situ ia tahu kalau obat itu sudah tidak bisa dikonsumsi.
Nur sendiri di diagnosa mengalami penyakit paru-paru basah, sehingga dia harus rutin mengkonsumsi obat suntik. Ia awalnya tidak merasakan gejala apapun, namun belakangan waktu dirinya merasakan gejala lain seperti mual dan pusing.
“Saya datang ke klinik dan menanyakan gejala yang saya alami. Kemudian ditanya obat apa yang saya konsumsi, lalu disuruh lihat botolnya. Dari situ terungkap tanggalnya sudah lewat. Dari situ dokter pun tidak mau nyuntik ke saya, sementara saya harus rutin setiap hari dan tidak boleh putus nyuntik obat ini,” katanya, Selasa (10/09).
Selepas mengetahui hal tersebut, Nur pun mendatangi Puskesmas tempat dirinya berobat. Nur pun menanyakan kepada pihak Puskesmas terkait obat yang diduga sudah kadaluarsa. Wanita ini pun mengaku saat dirinya menyampaikan hal tersebut, pihak Puskesmas respon dan memiliki itikad baik.
“Ada itikad baik (Puskesmas-red), saya dibawa ke Rumah Sakit Sentra Medika. Disitu saya bertemu dokter Lusi, dan beliau bilang ini tidak apa-apa. Kalau obatnya enggak diterima tubuh kan ada enzim nanti dikeluarkan melalui keringat dan kotoran,” beber Nur.
Nur sendiri menyebut dirinya sudah merasakan gejala tersebut beberapa hari. Ia pun mengaku sudah obat dari puskesmas sekitar satu bulan.
“Udah sebulan lebih lah dan saya selalu ambil obat di Puskesmas itu dengan merk dan dosis yang sama. Tapi saya gak tahu kalau saya suntik obat kadaluarsa sejak kapan tapi ketahuannya ya baru hari Minggu kemarin,” bebernya.
Bermula dari Kelalaian
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Depok, Novarita angkat bicara terkait masalah obat kadaluarsa yang diberikan oleh pihak Puskesmas kepada balita di kawasan Beji Kota Depok. Menurut dia hal tersebut adalah murni kelalaian.
“Ini murni kelalaian, sebab setiap obat yang diberikan oleh petugas prosedurnya harus di cek tanggal dan masa kadaluarsanya,” tutur Novarita, Kamis (26/09).
Ia mengatakan, aturannya setelah di cek terkait kelayakan dan kadaluarsa dari obat tersebut, petugas Puskesmas wajib memberitahukan mengenai tata cara penggunaan, tidak langsung dilepas begitu saja.
Novarita mengklaim kalau pendistribusian obat-obatan yang masuk ke Puskesmas di Kota Depok tidak luput dari pengawasan Dinkes. Ia mengakui kejadian obat kadaluarsa sudah dua kali terjadi yaitu di Puskesmas Beji dan Villa Pertiwi. “Kami cek SOP-nya memang begitu tapi untuk kasus yang ini memang murni kelalaian,” kata Novarita.
Selain itu antara kasus pemberian obat kadaluarsa di Puskesmas Vila Pertiwi Cilodong dengan kasus Puskesmas Beji hampir bersamaan.
“Kejadian di Puskesmas Beji pada tanggal 7 September bukan tanggal 17 September dan itu hampir bersamaan. Dan pada saat kejadian di Puskesmas Vila Pertiwi Cilodong kita langsung kordinasikan semua dengan seluruh Puskesmas,” bebernya.
Novarita menegaskan, tindakan tegas berupa peneguran dan sanksi juga telah diberikan terhadap kedua Puskesmas tersebut. Kedepan pengecekan obat-obatan akan rutin digelar untuk mengantisipasi kejadian serupa. “Pembinaan juga kami berikan untuk kedua puskesmas itu,” tegasnya.
Saat ditanya mengenai salep yang diberikan kepada balita hingga menyebabkan penyakitnya meluas, Novarita menyatakan belum mengetahui secara pasti.
“Saya belum tau salep itu. Saya dapat informasi hanya masalah obat kadaluarsa dan itu yang dibahas,” pungkasnya. (*)