“Kalau kita bicara agama maka kewenangan itu bukan milik pemerintah daerah tapi kewenangan pemerintah pusat. Karena kaitannya dengan pertahanan keamanan, fiskal moneter, kemudian ada beberapa lagi. Sehingga pemerintah daerah tak memiliki hak untuk membahas itu,” katanya saat dikonfirmasi Jumat, 17 Mei 2019.
Kemudian, kata Hendrik, alasan yang tak kalah penting pihaknya menolak Raperda PKR dikarenakan religiusitas adalah hal yang bersifat sangat pribadi (privat), berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian bukan kewenangan kota untuk mengatur kadar religiusitas warganya.
“Perda PKR memiliki potensi diskriminatif baik terhadap umat beragama dan terhadap kaum perempuan. Perda ini juga memiliki kecenderungan untuk mengkotak-kotakkan warga Kota Depok yang sangat Plural (majemuk),” imbuhnya.
Politisi PDIP itu mengungkapkan, penolakan atas usulan tersebut juga disuarakan oleh sejumlah partai lainnya yang disepakati dalam Bamus.
“PDI Perjuangan berpandangan bahwa negara, dalam hal ini Pemkot Kota Depok, berkewajiban untuk memastikan bahwa setiap umat beragama memiliki kebebasan dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya dan menjaga toleransi antar umat beragama. Namun Pemerintah Kota tidak bisa mengatur religiusitas warganya,” tutur Hendrik.
Dalam hal perilaku warga, lanjut Hendrik, Pemkot Depok bisa membuat aturan dalam kerangka ketertiban umum dan kemaslahatan kehidupan bersama, bukan dalam kerangka pahala dan dosa atau surga dan neraka.
“Intinya kami menghindari konflik antar umat beragama. Maka peran pemerintah mereka harus tampil, bagaimana semangat kebangsaan toleransi di Kota Depok ini bisa terjaga ditengah pluralisme yang begitu besar. Ini bisa menimbulkan diskriminasi terhadap keberagaman pemeluk agama dan itu tidak boleh,” tandasnya.
Wali Kota Depok Angkat Bicara
Wali Kota Depok, Mohammad Idris sendiri sempat berkomentar perihal penolakan tersebut. Dia mengatakan penolakan Raperda Kota Depok sebagai Kota Religius didalam Bamus dinilai tidak rasional. Pasalnya, ada mekanisme yang harusnya dijalankan terlebih dahulu, seperti kajian dan analisa. Hal tersebut diungkapkan Wali Kota Depok, Mohammad Idris kepada Harian Sederhana pada Minggu, 19 Mei 2019.
Orang nomor satu di Kota Depok ini mengatakan, latarbelakang diusulkannya Raperda ini adalah dalam rangka mewujudkan masyarakat Kota Depok yang religius yang senantiasa menjunjung tinggi harkat, martabat dan kemuliaan berdasarkan norma agama, norma hukum, norma kesusilaan dan norma kesopanan sebagai tuntunan dalam menjalankan kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hal ini pula yang membuat Pemerintah Kota (Pemkot) Depok perlu mendorong setiap upaya masyarakat untuk senantiasa menyeru dan mengajak kepada kebaikan dan mencegah perbuatan tercela sehingga terwujud suasana kehidupan kemasyarakatan yang harmonis, rukun, damai, aman, tertib dan tenteram.
“Mekanismenya yang harus dilakukan oleh DPRD adalah ketika rancangan itu masuk eksekutif seharusnya dipelajari dulu. Itukan baru usulan dari kami. Kok belum dipelajari sudah menuai penolakan,” tutur Idris.
Padahal, lanjutnya, kalau mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Perubahan (RPJMD-P) Kota Depok, visi misinya adalah Kota Depok sebagai kota yang Unggul, Nyaman dan Religius.