Alasan penolakan ini juga sangat disayangkan, sebab Raperda Penyelenggaraan Kota Religius saat diusulkan untuk masuk dalam Program Pembentukan Perda Tahun 2020 masih disusun dalam bentuk Eksekutif Summary.
“Untuk itu kajian mendalam perihal isi yang akan diatur dalam raperda tersebut masih sangat terbuka untuk mandapatkan masukan, saran dan perbaikan dari berbagai pihak khususnya dari DPRD Kota Depok,” tandasnya.
Sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok menolak rancangan peraturan daerah atau Raperda inisiatif Pemerintah Kota Depok tentang Penyelanggaran Kota Religius (PKR). Salah satu suara yang cukup vokal menolak wacana itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP.
Ketua DPRD Kota Depok, Hendrik Tangke Allo mengungkapkan Raperda itu resmi ditolak dalam Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Kota Depok untuk masuk ke dalam daftar Program Legislasi Daerah (Prolegda). Dengan demikian, segala jenis pembahasan mengenai Raperda ini tidak lagi dimungkinkan untuk dilakukan di setiap alat kelengkapan Dewan.
Hendrik menjelaskan, ada banyak pertimbangan pihaknya menolak rancangan Perda yang diprakarsai oleh Wali Kota Depok, Mohammad Idris. Menurutnya, hal itu adalah ranah pemerintah pusat dan bukan kewenangan daerah. Ini merujuk pada Undang-Undang 23 tahun 2014 yang bersifat absolut.
“Kalau kita bicara agama maka kewenangan itu bukan milik pemerintah daerah tapi kewenangan pemerintah pusat. Karena kaitannya dengan pertahanan keamanan, fiskal moneter, kemudian ada beberapa lagi. Sehingga pemerintah daerah tak memiliki hak untuk membahas itu,” katanya saat dikonfirmasi Jumat (17/5/2019).
Kemudian, kata Hendrik, alasan yang tak kalah penting pihaknya menolak Raperda PKR dikarenakan religiusitas adalah hal yang bersifat sangat pribadi (privat), berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian bukan kewenangan kota untuk mengatur kadar religiusitas warganya.
“Perda PKR memiliki potensi diskriminatif baik terhadap umat beragama dan terhadap kaum perempuan. Perda ini juga memiliki kecenderungan untuk mengkotak-kotakkan warga Kota Depok yang sangat Plural (majemuk),” imbuhnya.
Politisi PDIP itu mengungkapkan, penolakan atas usulan tersebut juga disuarakan oleh sejumlah partai lainnya yang disepakati dalam Bamus.
“PDI Perjuangan berpandangan bahwa Negara, dalam hal ini Pemkot Kota Depok, berkewajiban untuk memastikan bahwa setiap umat beragama memiliki kebebasan dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya dan menjaga toleransi antar umat beragama. Namun Pemerintah Kota tidak bisa mengatur religiusitas warganya,” tutur Hendrik.
Dalam hal perilaku warga, lanjut Hendrik, Pemkot Depok bisa membuat aturan dalam kerangka ketertiban umum dan kemaslahatan kehidupan bersama, bukan dalam kerangka pahala dan dosa atau surga dan neraka.
“Intinya kami menghindari konflik antar umat beragama. Maka peran pemerintah mereka harus tampil, bagaimana semangat kebangsaan toleransi di Kota Depok ini bisa terjaga ditengah pluralisme yang begitu besar. Ini bisa menimbulkan diskriminasi terhadap keberagaman pemeluk agama dan itu tidak boleh,” tandasnya.
Kepala Bagian Hukum Setda Kota Depok, Salviadona menjelaskan usulan draft Raperda Kota Religius adalah dalam rangka mewujudkan peningkatan tatanan kehidupan masyarakat yang berharkat, bermartabat dan berakhlak mulia berdasarkan kepada norma-norma yang tumbuh di masyarakat dengan tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.
“Hanya saja kami dari pihak eksekutif menyayangkan bahwa sebelum kami diberi kesempatan untuk menjelaskan maksud dan tujuan usulan Raperda tersebut secara sepihak Bamus menolak,” katanya.
Wanita yang akrab disapa Dona ini mengungkapkan, pihkanya sangat terbuka dalam saran dan masukan jika Raperda ini disetujui untuk masuk program pembentukan Peraturan Daerah (Perda) tahun 2020.
“Tapi belum juga kami utarakan sudah ditolak dulu praduganya terlalu jauh,” tuturnya.