Dan dia memastikan kalau sekarang pemilik angkot harus melakukan peremajaan atau konversi maka tidak akan jalan, sebab mau beli dari mana duitnya. Iaebgaku dulu itu majunya para pemilik angkot karena dibantu biaya oleh pihak ketiga yakni finance.
“Ya sebenarnya dulu masyarakat membantu mensubsidi pemerintah, kalau pemerintah belum ada mensubsidi masyarakat. Kalau saya lihat pemetintah ini hanya mengada-ada memang ada aturannya tapi kalau diterapkan saat ini kurang tepat,” jelasnya.
Sementara Sekretaris Koperasi Madani Tri Handoyo mengaku, pihaknya tidak pernah nolak program, kalau ada pembatasan usia ayo saja tapi bener atau konsekuen tidak konsekuen dari pemerintahnya.
Dia mengaku, badan hukum angkutan yang dikelolanya mengelola 300 angkutan, 97 unit diantaranya ada di trayek utama, antara 01, 02, 03 dan 09.
“Pengurus Madani ini ril pengusaha, tidak menolak program pemerintah, tapi memang harus menguntungkan, kalau bicara aturan kan paling juga lima tahun, tapi kita harus ikuti rilnya saja di lapangan seperti apa. Jadi bagi pemerintah yu kita diskusi solusinya bagaimana,” ucapnya.
Ia berpesan bahwa pemerintah itu jangan hanya bermain aturan saja, misalnya bangun kesepakatan lalu bertindak tegas, jangan plin plan seperti yang sudah-sudah melakukan pembagian Trans Pakuan Koridor (TPK) sudah di sepakati tapi dilapanan acak-acakan dan tindakan dari Dinas Perhubungan tidak ada.
“Saya sudah jadi korban, pembagian jalur, terjadi kesepakatan dan ditandatangani semua, tapi saat terjadi tidak melaksanakan kesepakatan tidak ada tindakan dan ketegasan jadi pemerintah plin plan,” jelasnya.
Sementara Fatonah salah satu pemilik angko trayek 01 jurusan Ciawi – Baranang siang menilai, program peremajaan yang berkaitan utuh dengan program konversi sama saja pemerintah mematikan mata pencaharian warga.
Menurutnya hal itu bukan tanpa alasan, tetali persoalan ini adalah persoalan perut banyak. Kalau para pemilik angkot dipaksa harus meremajakan angkot miliknya dengan sistem konversi sangat tidak tepat.
Dia mencontohkan, kalau pemilik angkot yang hanya memiliki angkot satu unit mengandalkan gaji sopir, servis kendaraan, kebutuhan dapur dan biaya menyekolahkan anak semua mengandalkan dari situ.
Lalu sekarang, program pemerintah mewajibkan angkutan harus di konversi dari tiga menjadi satu, maka satu armada menjadi tiga orang pemilik. Terus berbagi keuntungannya bagaimana, karena selain itu juga akan menanggung beban besar yakni bayar angsuran ke bank, gaji sopir, servis dan kebutuhan lainnya.
“Mending kalau usahanya jalan kalau tidak jalan bagaimana, maka unit akan di tarik sama leasing ya wasalam bagi kami, lalu kami makan apa?,” tegasnya.
Jadi lanjut dia, program konversi tersebut harus dikaji ulang supaya tidak membangkrutkan para pengusaha angkot. Ia juga meminta pemerintah dalam membuat program agar berpihak terhadap masyarakat kecil jangan ke para pengusaha semata.
Sementara Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Bogor M.Ishak menyatakan, kebijakan tersebut selain mendadak juga dilakukan tanpa koordinasi dengan Organda. Menurutnya program tersebut tidak tepat diberlakukan saat ini karena ia menilai keadaan perusahaan angkutan saat ini sedang koleps.