Harian Sederhana, Depok – Banyaknya arus informasi dan pengaruh budaya menyebabkan minimnya kemampuan dalam pentashihan Al-Qur’an. Perlunya pengkaderan dalam pentashihan Al-Qur’an dalam upaya menjaga dan mengamalkan isi Kalamullah tersebut. Hal tersebut dibenarkan Pengasuh Pesantren Al-Hikam, KH. Yusron Ash-Shidqi.
“Kita berupaya membekali para mahasiswa penghafal Al-Quran ini dengan materi pentashihan. Negara hadir dalam upaya menjaga mushaf Al-Qur’an dan memuliakannya,” ujarnya ketika kegiatan Pembinaan Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kerjasama STKQ Al-Hikam dengan Lajnah Pentashihan Al-Qur’an (LPMQ) Badan dan Diklat Kementerian Agama RI. Pesantren Al-Hikam, Kukusan, Kamis (03/10).
Menurutnya, para lulusan STKQ Al-Hikam diharapkan turut andil dalam menjaga kemurnian mushaf Al-Qur’an. Jangan sampai, lanjutnya, ditemukan mushaf Al-Qur’an yang beredar di masyarakat salah cetak.
“Kita menyambut baik acara yang bekerjasama dengan Kemenag, semoga ke depan bisa terus bersinergi. Sesuai dengan harapan almarhum KH. Hasyim Muzadi agar lulusan Al-Hikam bisa berkontribusi langsung dalam bidang Al-Qur’an. Tentunya, dikemudian hari diharapkan ada dari lulusan ini bisa menjadi Pentashih Al-Qur’an,” harapnya.
Sementara itu, salah satu narasumber Dr. KH. Ahsin Sakho mengungkapkan untuk menjadi Pentashih Al-Qur’an tidak hanya hafal Al-Qur’an saja. Namun, lanjutnya, seseorang harus mampu menguasai ilmu lainnya.
Diantaranya Tafsir Al-Qur’an, Ulumul Qur’an, Rasm Qur’an, syakl, Rasm Turki Usmani, Qiroat Sab’ah, Waqof dan Ibtidak, Makki dan Madani, Ulumul Hadis dan lainnya.
“Hanya di Indonesia saja para Pentashih Al-Qur’an diperhatikan dan digaji oleh Negara. Inilah yang membedakan di Indonesia dan Negara lainnya. Terutama dalam menjaga keotentisitasan mushaf sebagai Kalamullah atau Wahyu,” beber KH. Ahsin Sakho.
Ia mengaku pengalamannya saat melakukan Pentashihan pada kata “Auliya” agak susah. Pasalnya, untuk mengartikannya harus menggunakan kata yang tepat. Sehingga, ia tetap menggunakan kata Auliya dalam terjemahannya. Meski begitu, dirinya tetap menambahkan catatan kaki dengan kata shohib, teman terdekat dan lain-lain.
“Jangan sampai mengambil langsung terjemahan Al-Qur’an sebagai sandaran pengambilan hukum. Sebab, makna dan arti Al-Qur’an sangat luas. Untuk memahaminya tidak hanya hafal dan terjemahan saja, tapi dibutuhkan ilmu-ilmu lainnya,” tandasnya.
Kegiatan tersebut diikuti 50 mahasiswa Al-Hikam yang rata-rata penghafal Al-Qur’an. Kegiatan yang berlangsung empat hari juga bagian dari studium general yang wajib diikuti mahasiswa. (*)