Harian Sederhana, Jakarta – Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo akhirnya mengumumkan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke wilayah Kalimantan Timur di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Senin, 26 Agustus 2019.
Keputusan tersebut pun mengundang pro-kontra khususnya terhadap kota-kota yang berada di sekitaran Ibu Kota Jakarta seperti Kota Depok dan Kota Bogor. Banyak yang beranggapan keputusan tersebut harus kembali dikaji ulang dan harus dipikirkan secara matang.
Seperti Imam Budi Hartono, anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Dapil Kota Depok-Kota Bekasi ini menilai pemindahan ibu kota akan berdampak pada wilayah disekitar Jakarta, khususnya Kota Depok dan Kota Bekasi terutama dari sudut politik dan ekonomi.
“Hitung saja berapa banyak setiap hari Jakarta diserbu penduduk Bogor-Depok-Bekasi (Bodebek), baik terkait masalah pemerintahan maupun bisnis. Tentu pemindahan ibu kota ini pasti akan dirasakan oleh tiga daerah tersebut,” tuturnya kepada Harian Sederhana ketika dikonfirmasi pada Selasa (27/08).
Pria yang akrab disapa IBH ini menilai pemindahan ibu kota sendiri dinilai buang-buang anggaran lantaran masih banyak hak-hak dasar rakyat yang belum terpenuhi seperti hutang BPJS, hak atas rumah, dan lain-lain.
“Yang saya dengan anggaran untuk ibu kota mencapai triliunan sampai Kementrian Keuangan masih berpikir akan mencarikan uang darimana, dan belum jelas,” katanya.
Ia bahkan mempertanyakan atas pesanan siapa presiden tanpa mekanisme menentukan langsung ibu kota akan dipindahkan. Dirinya berharap tidak ada pihak-pihak yang diuntungan atas hal tersebut.
“Naskah akademi belum ada, para pakar akademik dan SDM terbaik di Indonesia juga mungkin masih banyak yang belum diajak bicara. Fenomenanya banyak yang kontra terhadap pemindahan ibu kota,” bebernya.
Terkait hal itu, Depok dan Bekasi harus siap dengan pertumbuhan yang melambat sehingga harus dicarikan terobosan baru agar masalah pengangguran bisa teratasi. Terutama bisnis yang tergantung dengan Jakarta sedikit demi sedikit dikurangi.
“Maka pilihan menjadi provinsi mandiri bersama Bogor Raya adalah jalan keluar yang cepat agar ada pusat pertumbuhan provinsi baru yang bisa menopang Kota Depok,” bebernya.
Ia juga menilai yang sedang dan sudah dibangun selama ini akan menjadi mubazir karena arus penduduk tidak akan sekuat dan sebesar ibu kota di Jakarta.
“Infrastruktur baik kereta monorel, kereta komuter, tol dalam kota, dan Bandara Soekarno-Hatta yang sekarang sudah akan membangun Terminal 4 itu nanti bisa menjadi mubazir,” tandasnya.
Sementara itu Wakil Wali Kota Bogor, Dedie Rachim ikut bersuara terkait pengumuman ibu kota dari Jakarta ke Kaltim. Ia menyebut dampak pemindahan ibu kota ini bisa mendatangkan hal positif maupun negatif dan pastinya berdampak pada kota-kota penyangga seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang.
Dedie menyebut, pemindahan ibu kota dapat menciptakan keseimbangan baru. Hal positifnya beban berat terhadap lingkungan akibat pergerakan manusia di seputar Jabodetabek bakal berkurang.
Dampak negatifnya, akan ada sebagian orang yang selama ini diuntungkan secara ekonomi, yang terkait langsung maupun tidak langsung, dengan keberadaan instansi pemerintah akan kehilangan sumber pendapatannya.
“Sejauh ini, Bogor mendapatkan untung dari sisi jasa tempat dalam kegiatan lembaga atau kementerian di hotel-hotel atau tempat pertemuan,” ungkap Dedie.
Kebutuhan akan hunian dan industri di Bogor tidak akan terpengaruh langsung. Dedie pun menambahkan, pemerintah pusat tentunya sudah melakukan berbagai kajian untuk memilih Kaltim sebagai ibu kota dalam beberapa tahun mendatang.
“Kita bukan dalam kapasitas setuju tidak setuju, karena kajian Bappenas sudah cukup komprehensif meliputi berbagai aspek,” tutupnya.
Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke wilayah Kalimantan Timur di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Senin, 26 Agustus 2019.
Presiden menuturkan, keputusan tersebut diambil lantaran pemerintah pusat tidak bisa untuk terus menerus membiarkan beban Jakarta dan Pulau Jawa semakin berat. Beban yang dimaksud antara lain kepadatan penduduk, kemacetan, polusi udara dan ketersediaan air bersih.
Untuk lokasi ibu kota baru RI sendiri ditetapkan pemerintah berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim). Ia juga mengatakan pemindahan ibu kota negara ini setelah melakukan kajian matang.
“Kenapa urgen, kita tidak bisa terus menerus membiarkan beban Jakarta dan beban Pulau Jawa yang semakin berat,” tuturnya.
Jokowi mengatakan masalah yang ada di Jakarta itu bukan kesalahan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kondisi ini, kata Jokowi, karena besarnya beban yang diberikan perekonomian Indonesia kepada Pulau Jawa dan Jakarta sejak Indonesia merdeka.
“Dan ini bukan kesalahan Pemprov DKI Jakarta, tapi terlebih karena besar beban yang diberikan perekonomian Indonesia kepada Pulau Jawa dan Jakarta,” ujarnya.
“Kesenjangan ekonomi antara Jawa dan luar jawa yang terus meningkat meskipun sejak 2001 sudah dilakukan otonomi daerah,” sambung Jokowi.
Sebelumnya Jokowi mengatakan setelah melakukan kajian selama tiga tahun belakangan ini lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim.
Jokowi mengungkapkan alasan ibu kota dipindah di Kaltim, antara lain risiko bencana minimal, baik bencana banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, gunung api dan tanah longsor.
Kemudian lokasinya strategis berada di tengah-tengah Indonesia, berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang, yaitu Balikpapan dan Samarinda.
Selanjutnya alasan ibu kota baru berada di sana karena mempunyai infrastruktur yang relatif lengkap, dan telah tersedia lahan yang dikuasai pemerintahan seluas 180 ribu hektare.
Pemindahan ibu kota baru ini, lanjutnya, bukan satu-satunya upaya pemerintah dalam mengurangi kesenjangan antara luar dan Pulau Jawa. Dalam kesempatan tersebut, ia juga memastikan, pemindahan ibu kota ke wilayah baru melingkupi pusat pemerintahan. Sementara, pusat bisnis, keuangan, maupun perdagangan tetap berada di DKI Jakarta.
Jokowi memerintahkan jajarannya untuk menyiapkan skema pembiayaan pemindahan ibu kota, baik yang bersumber dari APBN atau di luar APBN. Ia juga memerintahkan agar ada desain kelembagaan yang diberikan otoritas dalam rencana pemindahan ibu kota negara ini.
Mantan gubernur DKI Jakarta itu juga meminta jajarannya untuk mempelajari pengalaman pemindahan ibu kota negara lain, terutama terkait faktor-faktor yang bisa menjadi hambatan, sehingga bisa mengantisipasi sedini mungkin.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan pemerintah berkomitmen tidak akan menggunakan APBN yang bersumber dari penerimaan pajak untuk menutup kebutuhan pemindahan ibu kota.
Berdasarkan data Bappenas, dana yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru sekitar Rp 486 triliun. (*)