Ada beberapa hal yg dimungkinkan bisa dituangkan dalam Raperda ini. Yang diharapkan bisa menjaga keberlangsungan nilai-nilai religius. Misalnya mengantisipasi masalah rusaknya berbagai nilai kehidupan. Seperti bahaya pornografi, seks bebas dan LGBT.
“Atau terkait tingginya kebutuhan masyarakat akan pendidikan keagamaan. Hal lain misalnya kebutuhan kenyamanan dalam beribadah di berbagai ruang kegiatan atau aktivitas masyarakat. Seperti ruang ibadah yg representatif di pusat perbelanjaan atau bisnis,” bebernya.
Farida berpendapat secara umum Raperda mempertajam visi misi Kota Depok sebagai kota yang Unggul, Nyaman dan Religius. Sebab dari sisi unggul sudah diperkuat dengan berbagai perda, misal perda penyelenggaraan pendidikan, perda penyelenggaraan kota layak anak, perda kota cerdas.
Begitu juga dari sisi nyaman, diperkuat dengan perda yang ada, seperti perda rencana detail tata ruang atau perda penyelenggaraan kota hijau.
“Wajar saja kalau Pemkot Depok merasa perlu mendesain apa yang dimaksud religius. Tentu berdasar kewenangannya. Sesuai peraturan-perundangan tentang pemerintahan daerah,” imbuhnya.
Ketika disinggung apakah raperda ini akan menimbulkan intoleransi, Farida mengatakan tidak ada agama yang mengajarkan intoleransi. Religius sendiri adalah kata yang menyipati agama. Sebab semua agama mengajarkan kebaikan, saling menghormati, menghargai dan menjunjung kerjasama.
“Religius itu adalah nilai-nilai kebaikan. Makna religius itu adalah pandangan atau gagasan kebaikan, tidak ada satupun agama yang mengajarkan intoleransi. Ketika kita bicara religius justru kita sedang bicara penguatan toleransi,” tandasnya.
Farida menambahkan, seharusnya forum diskusi tentang usulan raperda dilakukan pada pembahasan Badan Pembentukan Peraturan Daerah. Untuk kemudian ditetapkan apakah dapat masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah Tahun 2020.
(*)