Harian Sederhana – Sehubungan dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, Wali Kota Depok Mohammad Idris berkirim surat ke DPR RI yang berisikan permintaan untuk mengkaji ulang draft RUU tersebut.
Wali Kota menuturkan, alasan permintaan tersebut lantaran Kota Depok memiliki program unggulan yaitu Family Resiliency atau ketahanan keluarga dengan tujuan mewujudkan keluarga berkualitas. Dimana keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri atau suami-istri dan anak.
“Oleh karenanya kebijakan yang berpihak pada kepentingan keluarga dan mampu memberikan perlindungan kepada keluarga adalah penting untuk dibuat dan dilaksanakan,” tuturnya kepada Harian Sederhana.
Terkait program keunggulan ketahanan keluarga tersebut, lanjutnya, dirinya melihat bahwa dalam RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, terdapat konten yang dapat disalahartikan sehingga tidak sejalan dengan konsep ketahanan keluarga.
“Ada beberapa konten yang nantinya bisa membuat orang salah paham. Seperti definisi kekerasan seksual yang tercantum dalam pasal 1 angka 1 yakni kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan peretujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik,” paparnya.
“Berdasarkan definisi tersebut, seseorang dianggap melakukan kekerasan seksual jika dilakukan secara paksa atau adanya unsur pemaksaan. Dengan demikian jika perbuatan seksual dilakukan secara suka sama suka atau sukarela. Maka berdasarkan draft RUU ini diperbolehkan, meskipun yang melakukan perbuatan tersebut tidak terikat dalam perkawinan,” timpalnya lagi.
Dia juga mengatakan, dalam RUU tersebut tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 menyatakan setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual.
Kekerasan yang dimaksud seperti pada ayat 1 terdiri dari pelecehan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Kekerasan seksual, lanjutnya lagi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, dan situasi khusus lainnya.
“Berdasarkan uraian ketentuan Pasal 1 dan Pasal 11 tersebut, maka dapat diartikan bahwa RUU ini membenarkan tindakan asusila seperti perzinaan, penggunaan alat kontrasepsi, aborsi, pelacuran, sodomi, homoseksual, dan penyimpangan orientasi seksual lainnya jika dilakukan secara sukarela suka sama suka tanpa ada paksaan,sehingga perbuatan tersebut bukan kategori pidana berdasarkan RUU ini,” bebernya.
Lebih parah lagi, kata Wali, jika melihat klausul pasal 11 ayat 2 huruf h, pasal 11 ayat 3 dan pasal 19, RUU ini bisa disalahgunakan sebagai sarana mengkriminalisasi suami-istri.
“Kriminalisasi suami yang memaksa isteri untuk berhubungan badan atau sebaliknya karena di pasal 11 ayat 3 dinyatakan bahwa kekerasan seksual meliputi peristiwa dalam lingkup relasi rumah tangga. Selain itu, dalam pasa 19 dalam RUU ini dinyatakan perbudakan seksual adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu,” katanya.
Dia berharap usulan tersebut dapat ditindaklanjuti terutama oleh Ketua Pansus Pembahas RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Ia berharap RUU itu bisa dikaji agar nantinya tidak membuat keruh suasanan di daerah. (Heru Sasongko/Wahyu Saputra)