Harian Sederhana, Depok – Usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Anti Kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau LGBT oleh DPRD Kota Depok mendapatkan reaksi penolakan. Diantaranya dari Persaudaraan Waria Kota Depok (Perwade) yang menyebut, lahirnya perda ini bisa merugikan dan mengucilkan kaum LGBT di Kota Depok.
Jelas kami (Perwade-red) sangat menolak. Karena perda ini akan merugikan serta semakin mengucilkan kami,” ujar Ketua Persaudaraan Waria Kota Depok (Perwade) Sofie, Senin (22/7/2019).
Sebagai kaum minoritas, Perwade tidak meminta eksklusifitas dari Pemerintah Kota (Pemkot) Depok. Namun, mereka hanya meminta hak-hak dasar sebagai warga negara dipenuhi dan diperlakukan sama di mata hukum oleh Pemkot Depok.
“Tetap tidak setuju, karena kita selalu dirugikan oleh raperda itu. Nilai lah kita sebagai warga negara yang baik. Pancasila kan gitu, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” kata dia.
Sofie bahkan pernah mendapat kabar, jika raperda itu sampai disahkan jadi perda nanti maka kaum waria akan dipersekusi seperti dipotong rambutnya bahkan sampai diusir dari Kota Depok.
“Serem banget kan itu isunya. Intinya kami menolak Raperda Anti LGBT itu. Kalau pun raperda itu sampai disahkan, kita hanya minta dimanusiakan aja,” katanya.
Lebih lanjut Sofie menyebutkan ada sekitar 50 waria yang tergabung dalam Perwade. Mereka berkerja berbagai profesi antara lain, perias, make up artis, dan lainnya. Jika ada yang mangkal sebut dia, tidak terlalu banyak hanya 10 orang.
“Yang mangkal itu mereka tidak merusak, karena tidak ada kegiatan. Yang ngamen ada 5 orang,” ucap Sofie.
Ia menambahkan, dari pada membuat perda yang diskriminatif, pihaknya mengusulkan kepada Pemkot Depok agar menggantinya dengan Raperda HIV/Aids. Sebab penyebaran HIV atau Aids itu riil dan tidak terfokus pada populasi kunci saja. Ia mengatakan setiap manusia yang melakukan hubungan seks beresiko tertular HIV/Aids.
“Sebagai warga negara, pengidap HIV/Aids berhak untuk mendapatkan layanan tanpa melihat label seseorang. Karena isu HIV/Aids tidak melulu bermuara ke populasi kecil saja. Tetapi juga harus menyusuri lapisan masyarakat umumnya pria hidung belang,” ujar Sofie.
Ia menyebutkan, ibu hamil, pekerja seks komersil, gay, pengguna napza suntik, waria dan tuberkulosis yang besar mengindap HIV. Mereka adalah populasi yang rawan tertular HIV/Aids.
“Plus lelaki hidung belang, nah lelaki hidung belang ini adalah hulunya dikebanyakan kasus,” jelas Sofie.
Sofie berharap Raperda HIV/Aids dapat mengedukasi masyarakat tentang HIV/Aids dan melakukan sosialisasi secara masif kepada masyarakat. Khususnya para lelaki hidung belang agar selalu menggunakan pengaman untuk mencegah penularan atau tertular.
“Ini lebih bermutu ketimbang Raperda Anti LGBT. Pembatasan ruang gerak LGBT melalui Raperda Anti LGBT bukan solusi. Solusinya, temukan datanya dan obati,” pungkasnya.
Menanggapi adanya penolakan soal wacana pembentukan Perda Anti LGBT, Hamzah selaku Sekretaris Fraksi Gerindra DPRD Kota Depok menyebut kota ini memiliki motto kota yang Unggul, Nyaman dan Religius. Karenanya lahirnya wacana pembentukan perda tersebut sejalan dengan visi dan misi Kota Depok.
“Semua agama melarang adanya hubungan sesama jenis, seks bebas dan lain sebagainya. Tidak ada satu agama pun yang membolehkan tindakan asusila. Maka dari itu kami menganggap perlu perda kearifan lokal (Perda Anti LGBT-red) ini bisa disahkan oleh DPRD dan Pemerintah Kota Depok,” tuturnya saat dikonfirmasi via telepon.